Minggu, 18 Desember 2011

Pengalaman Saja Bisa Menjadi Guru, Apalagi Iblis (Pengantar Penulis buku IG)


ALHAMDULILLÂH, atas izin Allah dan ridha-Nya buku Iblis Guruku (IG) ini bisa terselesaikan hanya dalam waktu sebulan. Tetapi pembaca jangan serta merta berpikir yang berlebihan tentang saya. Sebulan itu adalah proses mendapatkan judul buku dan menyempurnakannya. Bahkan kalau saya mau lebih jujur lagi, hanya setengah bulan, yaitu sejak tanggal 30 Desember 2009 sampai tanggal 15 Januari 2010. Tetapi bisa dikatakan setahun juga ya, dari tahun 2009
sampai tahun 2010.

Sebenarnya tidak sebombastik itu, sahabat. Proses setengah bulan itu hanya saat mendapatkan ide membuat buku dengan judul Iblis Guruku. Tetapi, kalau tulisannya sebagian besar sudah saya buat sejak tahun 2005 sampai 2010 yang saya collect sebagai tabungan tulisan. Yah, inilah hasilnya, bisa dinikmati pembaca. Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi saya dan pembaca semua.

Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah ke hadirat junjungan kita Nabi Besar Rasulullah Muhammad saw. Beliaulah yang telah memperkenalkan kepada saya dan juga pembaca tentang sesuatu yang baik dan akan diarahkan ke mana hidup dan kehidupan kita ini.
Mungkin pembaca sudah mengetahui tentang arti kata mentor ya? Kata istri saya, mentor itu kacang mete. Tetapi dia yang juga guru, segera menjelaskan bahwa mentor yang saya maksud adalah guru, pelatih, atau apa saja sebutannya yang bertugas membimbing orang untuk menjadi pemenang dalam sebuah perlombaan atau pertandingan. Itu menurut istri saya.
Kita sebagai manusia memiliki nafsu dan nurani.

Keduanya sungguh memiliki tugas yang saling berlawanan, yang membawa kita kepada kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat kelak. Nafsu oleh Allah diset untuk dimentori oleh iblis dan laskarnya. Nurani atau hati kecil, dimentori oleh malaikat. Nah, saatnya kita memilih apakah iblis atau malaikat yang akan kita jadikan mentor. Selanjutnya, kalau sudah sadar bahwa kita harus menang dalam perlombaan ini, apa yang harus kita lakukan?

Mari Tinggalkan Mencari Kambing Hitam
Maha Suci Allah yang telah menciptakan mati dan hidup sebagai ujian. Maha Besar Dia yang menjadikan apa yang kita cintai dan sayangi sebagai fitnah. Harta dan anak-anak serta istri yang kita miliki disebut Allah sebagai fitnah yang harus kita kelola dengan baik. Singkatnya, memang nampaknya Allah terus dan terus akan memilih siapakah di antara kita yang paling baik amalnya (QS. al-Mulk: 2). Yang terpilihlah yang akan mendapatkan ganjaran dan bonus menarik dari- Nya. Dan mereka adalah orang yang bertakwa yang sangat dekat dengan-Nya serta tidak mudah menyalahkan yang lain. Mereka adalah orang yang dikaruniai pemahaman tentang apa maunya Allah.

Banyak hal aneh yang disuguhkan Allah kepada kita, termasuk anak dan harta sebagai fitnah, istri sebagai musuh, dan setan yang kita tidak bisa melihatnya diklaim Allah sebagai musuh yang nyata. Bukan Allah yang aneh atau tidak jelas, tetapi kitalah yang belum paham. Semoga kita termasuk dalam golongan orang yang paham. Amin.

Dengan judul seperti yang pembaca ketahui, saya yakin berbagai respon muncul menyikapi tulisan kontroversial ini. Bahkan penerbit sekaliber Tiga Serangkai yang telah bersepakat dengan saya untuk menerbitkan buku Iblis Guruku ini menjadi ragu tentang manfaat dan kebaikan buku ini. Buku Iblis Guruku atau yang saya singkat dengan buku IG telah sampai ke tangan Anda.

Memang kedengarannya sangat berani dan melawan apa yang diyakini orang selama ini. Tetapi sudah barang tentu semua yang dilakukan memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Saya sebagai pencetus yang tentu tidak begitu saja memaparkan hal-hal yang mungkin dianggap tidak lazim ini berharap agar pembaca tidak buru-buru berprasangka buruk atau berpikir negatif pada saya. Selama ini kita terbuai oleh kebiasaan mencari kambing hitam atas masalahmasalah yang tengah kita hadapi. Bahkan bukan hanya itu, sebelum sesuatu terjadi pun seseorang telah menyiapkan alasannya dulu, kalau-kalau program yang dibuatnya gagal atau memberikan output yang buruk. Saya sudah melempar wacana ini dan saya siap untuk disidang dalam berbagai forum. Semuanya saya niatkan dan tujukan untuk Allah, karena Allah, dan demi Allah.

Prinsip “semakin tinggi ilmu, semakin seseorang bisa bertoleransi” akan terus saya patrikan ke dalam diri saya. Pesan untuk kita dengan hadirnya buku Iblis Guruku ini adalah: setelah tidak membiasakan mencari kambing hitam, segera perbaiki dan perbaiki diri sendiri. Selanjutnya, memperbaiki orang-orang di sekitar kita. Dan semuanya menggunakan ilmu. Dengan ilmu atau pengetahuan yang kita miliki, kita akan bisa memilih apapun dengan benar sesuai dengan yang diinginkan-Nya.
Jadi, tidak perlu ada yang disalahkan dalam hidup ini. Apalagi mencari-cari agar ada yang disalahkan. Mungkin saja bisa membuat kita puas. Tetapi apakah kepuasan ini yang disebut dengan râdhiyatan mardhiyyah? Bukan! Dan penjelasannya ada di buku ini. Mari tinggalkan mencari kambing hitam, karena semua kejadian di dunia ini adalah ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan kita selama di tempat yang sementara ini.

Maksud Hati Ingin Sharing
Judy MnKenna, konsultan manajemen dari Corolado State University, menyebut (1) kasih sayang, (2) kepedulian, dan (3) kemauan berbagi kepada sesama, merupakan investasi yang tak ternilai. Menurutnya, ketiga aset tersebut adalah amost precious gift, hadiah yang sangat berharga bagi orang lain. Allah swt dalam firman-Nya, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imrân: 92)

Dalam hadis Rasulullah saw bersabda, “Idzâ thabahta maraqatan fa aktsir mâ’aha wata’ahad jîranaka.” Jika kamu memasak makanan, perbanyaklah kuahnya, dan bagikanlah sebagiannya untuk tetanggamu. Untuk apakah semua itu? Apakah tidak berlebihan? Nih, Gerald G. Jampolsky, penulis Love is Letting Go of Fear, menyatakan, “All that I give is given to my self.” Apa yang diberikan kepada orang lain sebetulnya kembali untuk diri saya sendiri. Ia pun melanjutkan, “To give is to receive.” Memberi berarti menerima. Ibarat melempar bumerang, maka akan kembali kepada kita lagi. Inilah yang disebut dengan prinsip bumerang (boomerang principle). Allah berfirman, “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu kembali kepada dirimu sendiri. Sebaliknya jika kamu berbuat keburukan, itu juga akan kembali kepada dirimu sendiri.” (QS. al-Isrâ’: 7)

Mudah-mudahan tidak ada pembaca yang mencerca saya seperti ini, “Kira-kira dong kalau mau sharing!! Masa’ sharing membela iblis!!” Jelas, kalau ada yang demikian berarti membacanya belum khatam. Bahkan mungkin hanya dengan mendengar atau membaca judulnya. Jadi, mari kita diskusikan dengan baik tanpa prasangka dan anarkisme. Bukankah sebagian dari prasangka adalah dosa? Sekali lagi, bila sharing wacana ini perlu dibahas secara khusus, saya siap untuk melayaninya dalam forum apa saja asal dengan cara-cara yang bijaksana dan baik (hikmah wal mau’izhatil hasanah).

Pengalaman Saja Bisa Menjadi Guru, Apalagi Iblis
Berangkat dari sebuah hadis “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya, terjadi suatu mujahadah (perjuangan) untuk mendapatkan musyahadah (penyaksian). Ini terjadi pada diri saya yang tidak pernah puas tatkala pertanyaanpertanyaan menggelitik belum terjawab. Belajar ilmu kebatinan, kejawen, dan akhirnya ilmu diri mengantarkan saya pada satu pertanyaan: “Apakah kita bisa mengenal
diri sendiri tanpa mengenal musuh kita?” Jawabannya sulit sekali.

Karena proses pengenalan diri yang akan menuju pada pengenalan pada Tuhan adalah sesuatu yang sedemikain sakral dan luhur, maka banyak hal menjadi kendala. Musuhmusuh pun tidak rela bila seseorang akan sampai pada “maqam” itu. Berbagai cara dilakukannya hanya untuk menggagalkan percintaan, bahkan pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya. Iblis yang memiliki ilmu sangat tinggi dan didukung tim yang benar-benar militan akan menggunakan berbagai cara untuk merusaknya. Mengapa hanya iblis yang memiliki intelijen bagus? Saya pun perlu memiliki intelijen. Kalau bisa yang lebih bagus dari yang dimiliki iblis. Yaitu minimal dengan memiliki satu kata yang amat ditakuti iblis: ikhlas. Orang ikhlas ini memiliki strum yang nonstop dengan frekuensi Allah yang tak pernah reda. Dan saya beserta pembaca buku ini sedang menuju ke sana. Sehingga kitalah pemenangnya. Dengan telah mampu berbuat ikhlas, bukan saja iblis dan laskarnya menyerah, tetapi juga menumbuhkan suatu keyakinan bagi pelakunya dan membawanya kepada Tuhannya. Dari situlah kemudian saya ingin menjadi orang yang ksatria, yaitu benar-benar ingin menjadi lakon pada kehidupan sekarang ini. Saya tidak peduli dengan kehidupan setelah ini (akhirat). Saya hanya ingin memberikan yang terbaik kepada Tuhan saya pada kehidupan di dunia ini, bukan nanti.

Bagaimana caranya menjadi lakon itu? Apa maksud dengan menjadi lakon atau bintang film itu? Pembaca bertanya-tanya, bukan? Yaitu saya sesuai dengan “maqam” dan kemampuan yang saya miliki akan terus berpikir bahwa semua kejadian di dunia ini sangat terkait dengan saya. Apapun yang terjadi di keluarga saya, lingkungan saya, di Indonesia, bahkan di jagad raya ini adalah tanggung jawab saya secara proporsional tentunya. Kalau ada masalah di sana, berarti ada yang salah dengan saya. Mungkin saya kurang dekat dengan-Nya. Atau saya sedang lengah mengingat-Nya, sehingga hal normatif yang saya inginkan dan harapkan tidak menjadi kenyataan. Musibah, bencana alam, kekacauan dan sejenisnya, terus terjadi, meskipun itu adalah hukum alam yang memang harus terjadi. Singkatnya, dunia ini adalah cermin bagi diri saya yang bila ada apa-apa dengannya, pasti saya ikut andil di dalamnya. Bagaimana dengan pembaca?

Mungkin pembaca pernah berpikir, mengapa para ulama besar sekaliber Iman Ghazali, Hasan Basri, Imam Syafi’i, Syekh Abdul Qadir Jailani dan yang lainnya tak pernah tidak menangis setiap malam? Para sahabat pun demikian, bahkan bukan hanya pada forum tahajud, tetapi pada saat shalat wajib pun demikian. Menurut persepsi saya, selain karena lemah dan sulitnya menjadi manusia, beliau juga bertanggung jawab terhadap umatnya atau menjadikan dunia sebagai cermin. Kita yang berpotensi ganda, bisa baik dan jahat ini memang berada pada posisi sulit. Terlebih Allah memberikan stempel ‘tempatnya salah dan lupa’ bagi kita. Semakin sempurna, bukan? Dengan kondisi itulah, tentu semua orang memiliki dosa. Dengan salah dan dosa yang kita lakukan, meski Allah mengaku Maha Pengampun, penyesalan semestinya menjadi menu yang harus kita santap setiap saat. Ingat, penyesalan atau pengaduan hanya kepada-Nya saja lho… bukan kepada makhluk. Setelah itu, karena kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang mengenakan jubah kekhalifahan di muka bumi, maka kebaikan itu kita tularkan kepada orang di sekitar kita dan yang lainnya. Di sini bisnis multi level marketing (MLM) berlaku. Di sana orang menjadikan pengalaman sebagai guru. Dan saya lebih dari itu, menjadikan iblis dengan pernak-perniknya juga sebagai guru pula.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Man sana fil islâmi sunnatan hasanatan falahu ajruhâ wa ajru man ‘amila bihi.” Barangsiapa di dalam Islam membuat kebiasaan baik, baginya pahala dan pahala orang yang menirunya (mengikutinya). Jadi, kalau pengalaman saja boleh dijadikan sebagai guru, mengapa iblis dan ilmunya tidak? Mari kita resapi dan pikirkan untuk mendapatkan yang terbaik selama merantau di bumi ini.

Iblis Sebagai Mitra dan Sparing Partner Setujukah bila saya katakan bahwa posisi kita dengan iblis adalah sejajar? Jangan pernah mengatakan bahwa iblis lebih buruk dari kita. Belum tentu benar pernyataan itu. Iblis dengan track record yang dimilikinya tidak pernah melanggar kesepakatannya dengan Tuhannya, Allah swt. Dia tidak pernah berbuat di luar koridor yang telah ditetapkan Tuhannya. Dan ia selalu berbuat setelah meminta izin atau diperintah oleh Tuhannya. Apa yang salah dengannya? Atau jangan-jangan kita yang belum paham. Sejajar yang saya maksud adalah sama-sama pemain dalam sebuah film kolosal yang harus selesai dibuat. Deadline film itu disebut dengan kiamat. Allah memiliki skenario yang harus dilaksanakan. Kita oleh Allah diperintahkan untuk menjadi lakon yang terus berbuat baik dan membawa kebaikan bagi diri kita dan lingkungan. Meski sesulit apapun peran itu dilakukan. Sedangkan iblis sesuai kapasitas teruji yang telah ditetapkan Allah memang ditugasi untuk memegang peran antagonis. Jadi, iblis bagi saya adalah mitra yang harus bekerja sama sesuai dengan tugas masing-masing. Tidak mungkin sesuatu dikatakan baik bila tidak ada yang buruk. Tidak mungkin ada nilai bila dalam hidup ini tidak ada perbedaan. Dan seterusnya, silakan dibuat statemen-statemen seperti ini yang akan membuat kita yakin akan qadar dan kehendak Allah bagi umat-Nya.

Semua hal yang diciptakan oleh Allah pasti berguna. Tak terkecuali iblis yang bagi saya adalah guru, sebagaimana saya berguru pada pengalaman. Bukan saja pengalaman saya sendiri kan? Tetapi juga pengalaman orang lain. Yang baik akan saya ambil, dan yang tidak baik akan berusaha saya hindari. Baik? Apakah pembaca sudah tahu dengan sesuatu yang disebut dengan baik itu? Ingat, belum tentu sesuatu yang kita senangi itu baik bagi kita. Sebaliknya juga, belum tentu sesuatu yang kita benci itu buruk bagi kita (al-Qur’an).

Dalam film karya Allah yang tengah dibuat dan judulnya belum saya ketahui ini, iblis adalah musuh saya. Dan saya akan terus berusaha agar bisa menjadi pemenang. Saya tidak mau menjadi pecundang yang hanya bisa menyesali sesuatu setelah sesuatu itu terjadi. Saya akan terus belajar untuk menang. Namun apapun kenyataannya nanti, tujuan saya hanya satu, yaitu ingin mendapatkan status “râdhiyatan mardhiyyah”. Allah ridha dan saya puas. Tolong kalau pembaca ada ide, saya diberi tahu, judul apa yang cocok untuk film ini.

Buku ini memiliki motto: “mencintai untuk mendapatkan cinta-Nya”. Pembaca, saya memiliki prinsip bahwa orang ditakuti bukan karena kekuatan fisik atau tampilan yang menyeramkan, tetapi lebih karena ilmu yang dimilikinya. Rasulullah saw bukan orang yang berbadan kekar, yang berotot dengan perawakan tinggi besar dan kuat, tetapi beliau adalah orang yang sangat ditakuti dan disegani musuhnya karena ilmu dan pengetahuannya yang luar biasa. Salah satu musuhnya adalah iblis. Setidaknya hal ini yang berusaha ditanamkan pada kita, meskipun menurut saya keduanya tidak merasa sebagai musuh. Tetapi castingnya memang harus demikian.

Hanya untuk Cinta dan Mendapatkan Cinta-Nya
Pembaca yang saya banggakan, dalam buku Iblis Guruku ini akan banyak dibahas tentang cinta. Dengan cinta, orang rela untuk melakukan apapun demi yang dicintainya. Entah itu mencintai orang, barang, perhiasan atau apa saja termasuk Allah swt. Pembahasan nyeleneh ini sebenarnya hanya menyasar pada satu target, yaitu ridha Allah melalui mahabbatullâh (cinta kepada Allah). Saya sebagai penulis ingin sekali mendapatkan cinta Allah. Karena dengan mendapatkannya, saya akan nyaman pada setiap sesi dan sisi kehidupan ini. Di dunia, di alam barzakh, dan di akhirat kelak.

Bagaimana cara saya mendapatkan cinta dari Allah (mahbub minallaâh)? Salah satunya adalah dengan memberikan pencerahan bagi saudara-saudara saya agar tidak mudah untuk membenci. Karena, sesuatu yang berhubungan dengan kebencian pasti selalu buruk. Sebalik nya, dengan memandang apapun di dunia ini dengan cinta, di situlah akan muncul cahaya yang mampu menerangi bumi akibat adanya orang yang mengerti (alim). Semakin seseorang alim, bisa dipastikan ia akan semakin bisa bertoleransi. Dan tidak ada toleransi yang terwujud bila ada kebencian di dalamnya. Termasuk benci kepada iblis yang adalah mitra kita dalam seluruh skenario Allah terhadap umat-Nya. Sedangkan kita adalah bintangnya. Jadi, dalam bahasa kerennya, saya ingin membumikan nilai-nilai Allah sebagai pemegang jubah kekhalifahan di muka bumi ini. Kemudian mengajak pembaca untuk menyempurnakan pengabdian kepada-Nya. Are you ready?

Tetapi tentu saja yang tidak bersedia tidak akan saya paksa untuk mengikuti obrolan ini. Siapa tahu karena tidak nyambungnya diskusi sehingga banyak sumber daya terbuang sia-sia. Allah sangat tidak suka dengan pemborosan, termasuk waktu dan tenaga. Rasulullah saja tidak memaksa Abu Thalib untuk bersyahadat kok. Mari kita lanjutkan obrolan kita yang sungguh menarik ini. Namun harap diingat, kita masih punya koridor “iman”. Jangan karena obrolan yang kita lakukan kemudian kita kehila ngan nikmat terbesar itu. Harapan saya, dengan obrolan ini, semakin ke sana, semakin kita dapatkan iman yang mantap, sehingga predikat takwa bisa kita raih untuk mendapat ridha-Nya. Amin. Karenanya, setelah membaca buku ini dan ingin berdiskusi dengan saya, pembaca bisa menghubungi email: moes0569@yahoo.com atau 08175738311 atau 087886064146 atau 081339819097. Tetapi kalau belum membaca secara tuntas buku ini mohon tidak melakukannya, menghubungi saya. Lulus dulu, baru berdebat. Bila belum mengetahui isinya te rus ingin berdebat, sama halnya menelepon dengan GSM tetapi tidak pakai simcard. Tidak nyambung. Mohon hal ini untuk dimaafkan dan dimengerti. Selamat menikmati suguhan kami. Semoga bermanfaat. Amin! []
Moeslih Rosyid