Pembaca, kadang kita memandang
langit hanya sebatas horizon pembatas mata memandang. Padahal langit jauh lebih
luas dan tak terhingga. Menikmati langit dan isinya, menyadarkan betapa sangat
kecilnya kita. Bumi yang kita pijak, hanyalah satu planet dalam tatasurya di
mana matahari sebagai pusatnya. Matahari hanyalah satu dari anggota sebuah sistem
bintang-bintang dari Galaksi Bimasakti. Sementara Galaksi Bimasakti yang
beranggotakan sekitar 200 miliar bintang itu, ternyata hanyalah satu diantara
miliaran galaksi yang tersebar di seluruh penjuru langit. Begitu luas. Tak
bertepi. Begitu besar. Tak terjangkau. Siapakah gerangan yang membuat dan
mengaturnya? Dialah Allah Yang Maha Kuasa
1. Kita bukan siapa-siapa
Bagaimana
dengan kita? Seberapa besarkah kita? Ternyata kita ini sangat dan sangat kecil.
Sangat terbatas dan fana. Pepatah latin mengatakan memor esto brevis aevi,
yang artinya kira-kira mengingatkan betapa singkat masa hidup. Hidup begitu
pendek, tak sewajarnya disia-siakan dengan tanpa mau belajar demi meningkatnya
iman untuk menuju kepada-Nya.
Kita
harus menjadi mujahid, pejuang dalam kehidupan yang sulit ini. Mengapa sulit?
Ya itu, ada dua potensi yang berlawanan. Tidak seperti malaikat yang hanya
memiliki satu potensi. Dengan menjadi mujahid, kita siap berkompetisi dengan
musuh kita, setan yang adalah antek-antek Iblis. Dan jangan menjadi mujaer
yang karena tanpa ilmu menjadi santapan musuh.
Seorang
mujahid sebagai warrior, membagi hidupnya dalam tiga hal. Sepertiga
untuk perjuangan dan sosialisasi seperti yang saya lakukan ini. Sepertiga lagi
untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi semaksimal mungkin. Dan sepertiga
sisanya, digunakan untuk tugas-tugas rutin, makan dan tidur. Hanya saja, kalau
mujair tadi, tidak tahu kepada siapa ia persembahkan tiga sepertiga dari
seluruh waktu yang dimilikinya. Tahu-tahu ia telah tiada dan kehilangan masa.
Sedangkan mujahid, ia hanya mempersembahkannya bagi Tuhannya. Ia niatkan
semuanya untuk meraih riha ilahi. Sebuah perjalanan panjang menuju
keabadian di akhirat kelak.
Kita
tidak mampu untuk melakukan apa-apa sampai Allah memampukan kita. Hanya dengan
pertolongan Allahlah kita bisa selamat. Mengutip sajak Imam Ali r.a, “Ketika
ibumu melahirkanmu, engkau menangis menjerit, sementara orang-orang
sekelilingmu tertawa bahagia. Maka berusahalah untuk dirimu, ketika ajal
menjemput, di saat orang-orang di sekelilingmu menangisimu, ruhmu tersenyum
gembira.” Semoga kita bisa seperti itu, dan bukan sebaliknya. Semoga pula
kita yang bukan siapa-siapa ini mampu menghasilkan ridha dari yang berkuasa
memampukan, yaitu Allah Azza ajalla. Amin.
2. Tipu daya setan sangat lemah
Selama
ini karena ketidakmampuan kita untuk melihat setan sebagai musuh, kita sering
ragu, mampukah kita mengalahkannya. Jangan khawatir sahabat, sesungguhnya tipu
daya setan itu sangat lemah. “Orang-orang yang beriman berperang di jalan
Allah. Dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut. Sebab itu
perangilah kawan-kawan setan itu. Karena sesungguhnya tipu daya setan itu
adalah lemah.” (Qs An-Nisa’ : 76)
Agar
lebih sempurna kemenangan yang akan kita raih, mari kita cermati nasehat dari
Maulana jalaludin Rumi, “Jangan gunakan pedang kayu dalam peperangan,
pergilah cari pedang baja. Kemudian majulah dengan gembira. Pedang hakikatnya
adalah pelindungmu. Seorang Murshid, Wali Allah. Saatmu bersamanya sungguh
waktu yang luar biasa. Seperti piala kehidupan itu sendiri.. (Maulana
Jalaludin Rumi)
Untuk
memenangkan setiap kompetisi kita memang harus cerdik. Setidaknya kecerdikan
itu ditunjukkan dalam mengenali kelebihan dan kekurangan kawan maupun lawan.
Selain Allah pasti memiliki kelemahan. Setiap makhluk pasti memiliki kelemahan.
Dan setan serta Iblis, juga memilikinya. Mari kita tuntaskan diskusi kita
dengan menyelesaikan membaca buku ‘IG’ ini.
0 komentar:
Posting Komentar