Kapal
raksasa seberat 24,3 ribu ton itu mulai berlarung. Konsentrasi Nabi
Nuh As masih kepada kaum dan anaknya. Mereka terus dan terus mengejar
gunung dengan kesombongannya. Mereka merasa semua hal bisa
diselesaikan dengan akalnya. Otaknya pasti akan mampu untuk
menyelesaikan semua permasalahan hidupnya. Dengan berada pada gunung
tertinggi menurut mereka akan selamat dari amukan air. Tetapi tidak…,
demi Allah tidak. Untuk menyelesaikan permasalahan ini perlu logika
iman, bukan yang lain.
Putra
Putri Nabi Nuh As yang telah beriman dan masuk ke kapal bernama Sam,
Ham dan Jafits. Qan’an
dengan bandelnya tidak mau mendengar ajakan bapaknya meski teriakan
sang ayah memekakkan telinga orang di sebelahnya. “Wahai anakku,
naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang kafir”, demikian teriakan Nabi Nuh untuk sekian kalinya
yang kemudian diabadikan dalam Al Qur’an surat Hud ayat 42.
“Aku
akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air
bah”, jawab Qan’an.
“Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab
Allah selain Allah saja.Yang Maha Penyayang”, Namun gelombang
kemudian menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
“Ya
Allah, kenapa Engkau tenggelamkan anakku”, teriak Nabi Nuh As yang
melihat dengan mata kepala anaknya lenyap ditelan gelombang.
Kesedihan dan penyesalan kemudian muncul sebagai ayah yang tidak
berhasil membina anaknya. Tetapi kemudian Allah menegaskan dalam ayat
46 surat Hud tersebut. “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang
tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang
kamu tidak mengetahui hakekatnya. Sesungguhnya Aku mengingatkanmu
agar jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”,
demikian kata Allah yang kian membuat nabi Nuh menangis akibat
penyesalan terhadap kesalahannya. Maka berdoalah dia
“Qaala rabbi inni a’udzubika an
asalaka ma laisa li bihi ilma, wailla taghfirli watarhamni akun
mminal khasirin, Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon
kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui hakekatnya. Dan
sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan tidak menaruh
belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasukum orang-orang yang
merugi”. Demikian penyesalan Nabi
Nuh atas protes yang disampaikan kepada Allah yang kemudian disuruh
segera turun dari kapal dengan ucapan selamat sejahtera dan penuh
keberkatan dari Allah setelah air surut dan berlabuh.
Ini
bukti bahwa Allah punya kehendak (iradat)
yang tentunya Dia lebih mengetahui maksud dari kehendak-Nya. Belum
tentu yang kita minta dan harapkan akan baik bagi kita. Demikian juga
belum tentu yang kita tidak suka atas pemberian Allah tidak lebih
baik bagi kita.
Untuk
anak dan keluarga yang memang dikatakan Allah sebagai fitnah, tugas
kita adalah membinanya sehingga investasi yang berupa keturunan
tersebut akan membawa kita pada maqam
terbaik disisi-Nya kelak. Dua investasi kita yang lain berupa amal
jariyah dan ilmu yang bermanfaat harus terus dan terus kita
tingkatkan jumlah dan kualitasnya. Semoga ridha Allah akan senantiasa
menyertai kita semua. Amin
0 komentar:
Posting Komentar