Senin, 23 April 2012

Bebersih Diri (Langkah Pertama Menjadi 24 Karat) dari buku Menjadi 24 Karat karya Moeslih Rosyid




Saya masih berkeyakinan bahwa jika kita punya cita-cita atau keinginan dan masih terus membuat dosa, menyakiti orang lain dan membuat kedzaliman, maka keinginan dan cita-cita itu tak akan pernah bisa terwujud. Andaipun ternyata bisa menjadi kenyataan, itu hanyalah realisasi semu yang pada saatnya bisa hilang tanpa bekas. Bahkan mungkin bisa berubah menjadi petaka yang tak bertepi jika tetap kurang syukur. Kalau Pembaca tidak sepakat dengan formula ini, mohon jangan mencoba, karena apa yang saya katakan tadi akan menjadi kenyataan.

Pembaca pernah tidak, merasakan bahwa antara puncak kesuksesan dan puncak kegagalan itu hanya beda tipis? Sebagai contoh diri saya sendiri. Ketika saya menangani sebuah acara atau memegang proyek dan berhasil, maka puncaknya hanya senang dan bangga saja yang lalu disebut puas atau apalah namanya. Sebaliknya, ketika hal yang sama dilakukan dan gagal, maka kesedihan itu seolah jika diteruskan, ditarik dan diikuti, dia akan sampai pada kepuasan juga. Puas dalam merenung dan mendapatkan posisi diri dalam suatu kondisi negatif.

Memang hidup di dunia ini seperti tempat yang kita tinggali, bumi. Dia bulat seperti bola, dan siapapun yang berusaha meraih semuanya, pasti dia akan kembali kepada asal. Bila tidak percaya silakan Pembaca mencari arah Barat. Teruslah mengejar arah Barat itu dari satu titik, maka pada ujungnya Anda akan sampai pada tempat dimana Anda berada pada awalnya. Hanya muter-muter saja.

Yang ingin saya katakan disini adalah bahwa kehidupan di dunia ini memang benar-benar hanya permainan dan senda gurau. Hidup dan mati ini diciptakan Allah hanya sebagai ujian. Kalau begitu, enjoy aja. Nikmati saja apa yang sedang berada di depan kita. Agatha Christie bilang, “Ada saat saya merasa sangat tertekan, sengsara dan putus asa. Tetapi di saat-saat seperti itu saya masih menyadari bahwa hidup adalah suatu hal yang luar biasa.”

Hugh Down juga mengatakan, “Orang yang berbahagia bukanlah orang yang tinggal di dalam keadaan tertentu. Tetapi orang yang berbahagia adalah orang yang memilih tinggal dengan sikap tertentu.”

Daaaaaan, kalau kita menginginkan sesuatu sudah barang tentu kita sedang masuk dalam suatu permainan baru. Untuk sukses mendapatkan apa yang akan kita tuju dan capai, membersihkan diri adalah hal mutlak yang harus kita lakukan. Itu kalau kita ingin mendapatkan sukses sejati. Bukan sukses samar yang tak jauh beda dengan kegagalan tadi. Sukses yang benar-benar membawa diri kita pada rasa bahagia yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Pembaca, sekali lagi saya berani mengatakan bahwa hanya dengan poin ini saja kita sudah bisa menjadi 24 karat. Yaitu suatu kondisi bahwa apapun yang kita inginkan dan cita-citakan akan tercapai. Dan sayangnya biasanya orang dalam kondisi ini justru tidak terlalu banyak keinginan dan cita-citanya. Mereka ini sudah mampu melaksanakan istinjak awal yang empat itu. Yaitu (1) Cuci mulut dari kata kotor, ghibah (suka ngrasani orang) dan teman-temannya. (2) Cuci perut dari makanan haram dan subhat (meragukan tingkat kehalalannya). (3) Cuci hati dari niat jahat dan dosa. (4) Cuci seluruh tubuh dari gejala dosa. Berani? Dan Anda bukan saja bisa mencapai apa yang Anda inginkan jika sudah bisa melakukan istinjak awal ini, akan lebih hebat dari itu. Bahkan kata seorang ulama sufi Anda bisa mencapai derajat waliyullah. Wallahu a’lam

Lalu berada dimanakah posisi kita sekarang? Andalah yang paling tahu dan seharusnya selalu mengetahui posisi Anda. Jangan sampai kita tidak tahu apa-apa lalu jatuh tersungkur dan semuanya menjadi gatot, gagal total. Naudzubillah

Bagaimana cara kita membersihkan diri? Inilah beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mandi demi membersihkan diri dari daki-daki salah dan dosa yang menghalangi kita mendapatkan apa yang kita inginkan dan cita-citakan.

Minggu, 01 April 2012

Sufi Miskin Ditegor oleh Sufi Kaya (dari buku DIlarang Miskin/DM karya Moeslih Rosyid)

e. Sufi miskin ditegor oleh sufi kaya
            Seorang murshid yang pekerjaannya memancing ikan di sungai menyuruh santrinya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Santri itu menyanggupinya. Dicarilah sufi yang dimaksudkan oleh sang murshid dengan penuh perjuangan yang berat.
            Setelah akhirnya sang santri bertemu, ia merasa takjub dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ditanyakanlah kepada para tetangga apakah benar bahwa pemilik rumah mewah itu seorang sufi. Ternyata mereka membenarkannya. Bahkan lebih kaget lagi sang santri saat menyaksikan betapa sang sufi memakai pakaian mewan dan kendaraan yang sangat bagus.
            Di tengah gejolak pikirannya yang menyangsikan sang sufi. Santri itu langsung mendapat tegoran dari sufi. “saya sudah tahu maksud kedatanganmu. Tolong sampaikan salamku kepada gurumu. Aku berpesan kepadanya agar tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.”  sang santri kaget bercampur emosi mendengar gurunya dihina seperti itu. Terlebih gurunya yang sangat alim dan zuhud dinasehati oleh orang kaya seperti itu. “Bukankah yang sibuk mengurus dunia adalah dirinya?,” teriak batinnya.
            Mengalami selftalk (perdebatan dengan dirinya sendiri) yang demikian gencar, akhirnya sang santri memutuskan untuk pulang. Dibatalkan niatnya untuk belajar kepada sufi itu. Nalarnya tidak menerima seorang yang kaya raya mengkritik sufi yang benar-benar menjalani hidupnya dengan sangat sederhana.
            Tiba di pesantren dimana dulu ia belajar, sang santri melaporkan semua kejadian itu kepada gurunya. Mendengar kisah itu, sang guru menangis dan membenarkan nasehat sufi itu. Untuk lebih membuat sang santri paham, sang murshid menjelaskan bahwa kekayaan yang dimiliki sufi kaya raya itu hanya diperuntukkan demi agama Allah. Sufi kaya itu pun tak pernah berfikir bagaimana mendapatkan harta. Sementara dirinya, setiap hari masih ingin mencari ikan untuk hidupnya, katanya.

Para Sufi aja Kayaraya kok (dari Buku DIlarang Miskin karya Moeslih Rosyid)

c. Para sufi  kaya raya kok…
            Mungkin pembaca pernah mendengar atau membaca kata zuhud. Zuhud ini biasanya dikaitkan dengan kehidupan para sufi. Dan sebagian besar dari para sufi ini adalah waliyullah, kekasih Allah.
            Zuhud menurut buku Mukasyafatul Qulub buah tangan Imam Ghazali adalah meninggalkan atau menghindar dan menjauhi kenikmatan dunia. Karena kenikmatan dunia bukan tujuan utama. Dengan kenikmatan dunia itu tidak menjadikan seseorang terlena dari mengingat dan mengabdi kepada Allah. Dunia dijadikan alat untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu akherat yang abadi.
            Zuhud sebenarnya bukan tidak mencintai dunia, dan tidak identik dengan kemiskinan dan kemelaratan. Justru menurut saya, orang dikatakan zuhud jika ia kaya raya, tetapi tidak merasa mencintai dan memiliki kekayaan. Orang zuhud senantiasa mengingat Allah dan tidak pernah condong kepada harta. Dia hanya menjadi kran penyalur harta untuk orang yang membutuhkan. Zuhud bukan bermakna hidup miskin dan kekurangan, mengenakan pakaian compang-camping, serta bertubuh kotor. Apalagi kemana-mana mengemis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tetapi yang meminta (mengemis) dan dia tidak membutuhkannya atau hasil mengemisnya untuk orang lain, termasuk golongan orang zuhud. Salah satu contoh adalah Tuan Guru Haji (TGH) Tretetet yang mempunyai nama asli TGH Ahmad Atto.
            Para sufi tidak menghindari kesenangan dunia. Mereka tetap berusaha dan bekerja untuk mendapatkan rejeki di dunia. Tetapi mereka tidak terlena dengan berlimpah harta, namun terus dan terus meningkatkan ketakwaan demi mengabdi kepada Tuhannya.
            Qs Al baqarah : 198 menegaskan bahwa mencari rejeki tidak dilarang. “laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghu fadhlan min rabbikum’. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rejeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (Qs Al baqarah : 198).
            Saya yakin pembaca pernah mendengar para tokoh sufi yang sangat terkenal itu. Diantara mereka ada yang kaya raya yang hartanya dimanfaatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT. (1) Abdurrahman bin Auf adalah  seorang saudagar yang sangat sukses. Beliau juga seorang sufi yang dijamin Allah masuk surga. (2) Imam Hanafi yang nama aslinya Nu’man bin Tsabit adalah seorang imam. Beliau juga salah seorang pendiri madzhab dalam islam. Imam hanafi adalah seorang pedagang kain yang sukses dan kaya raya di Irak. Kejujuran menjadi darah baginya. Jika beliau menjual kain yang cacat, maka diberitahukannya kepada pembeli.
            Imam Hanafi dengan kekayaan yang melimpah setiap tahunnya menghitung labanya. Laba itu dimanfaatkan olehnya untuk sekedarnya mencukupi kebutuhannya. Sisanya dibelikan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan pakaian bagi qari’ (pembaca Qur’an), ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu. Selain itu Imam Hanafi juga memberikan sejumlah uang kepada mereka seraya berkata “ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku. Demi Allah aku tidak memberi sedikitpun kepada kalian dari hartaku. Melainkan karunia Allah kepada kalian. Sesungguhnya tidaklah seseorang memiliki kemampuan untuk mendapatkan rejeki , kecuali dari Allah SWT”.
            Bila pembaca sering membaca buku tentang para sufi tentu akan mengenal seorang bintang sufi. Kalau belum, maka akan saya perkenalkan dengan beliau. Beliau adalah (3) Syech Junaid Al Baghdadi. Menurut Junaid, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Dengan bersikap zuhud, seseorang hanya menempatkan dunia di tangannya, bukan di hatinya.
            Syech Junaid Al Baghdadi juga seorang pedagang yang sukses. Beliau memiliki gedung perniagaan di kota Baghdad yang banyak dikunjungi orang. Sebagai guru sufi, beliau tidak terlalu disibukkan oleh bisnisnya. Kedekatan kepada Allah adalah tujuan hidupnya.
Hingga suatu hari beliau dikaruniai Allah sakit mata. Kata tabib matanya tidak boleh terkena air. Tetapi saran tersebut tidak dilaksanakan, karena beliau harus berwudhu sebelum shalat. Ketika bangun tidur matanya sembuh dari sakit itu.
Beberapa waktu kemudian Junaid bertemu dengan tabib itu. Bertanyalah sang tabib kepadanya. “apa yang kau lakukan sehingga matamu sembuh Junaid?”, tanya tabib yang langsung dijawab bahwa ia berwudhu sebelum shalat.  Mendengar jawaban itu tabib yang beragama Nasrani itu langsung bersyahadat, sembari berkata “Ini adalah penyembuhan dari Tuhan, bukan makhluk. Wahai Junaid, sesungguhnya mataku yang sakit, bukan matamu. Kaulah tabib yang sebenarnya.”
Satu lagi Tokoh sufi dunia, agar pembaca yakin bahwa zuhud tidak identik dengan miskin. Beliau adalah (4) Syech Abu Hasan Asy Syadzili, mungkin pembaca telah mengenalnya. Beliau lahir di Maroko 593H dan masih ada ikatan nasab dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau juga seorang sufi yang kaya raya. Sawah dan ladang yang sangat luas dan sapi yang jumlahnya sangat banyak menjadikannya tidak terlalu sibuk dengan dunia. Tetapi kekayaan itu digunakan untuk mengabdi kepada Allah. Dan balasannya sudah bisa dipastikan, harta itu semakin hari semakin banyak akibat dermanya yang tulus.
Inilah doa Syech Abu Hasan Asy Syadzili yang patut kita contoh. “Ya Allah, lapangkanlah rejekiku di dunia, tetapi jangan Engkau jadikan rejeki tersebut sebagai penghalang menuju akherat. Ya Allah jadikanlah duniaku berada di tangaku dan janganlah Engkau masukkan dunia ke dalam hatiku.”
Masih banyak para sufi yang kaya raya selain yang empat di atas. Khalifah Umar bin Khatab Ra dan Usman bin Affan Ra adalah dua dari sekian banyak itu. Intinya, zuhud bukan berarti harus miskin dan papa. Tetapi zuhud adalah sikap dan perilaku serta keyakinan bahwa dunia adalah kendaraan menuju akherat. Dengan harta dunia, asalkan tidak takut kehilangannya, memanfaatkannya untuk kepentingan Allah adalah boleh-boleh saja.
Bahkan karena sulit diberi penjelasan, Ustadz Ikram ‘murshid’ saya pernah menghardik saya, bahwa kehidupan para sufi itu ‘busuk’. Tahun 1993 saya sempat ‘ngeyel’ untuk keluar dari pekerjaan saya sebagai karyawan Pos hanya ingin menjalani kehidupan sebagai sufi. Sekarang saya baru memahami, betapa memang harta dunia itu penting untuk mengabdi kepada Allah lebih baik. Tetapi, menjadikan harta kekayaan segala-galanya adalah suatu tindakan yang pantas untuk dilaknat oleh Allah SWT. Ada lahamdulillah, tidak ada tetap alhamdulillah. Karena kalau Allah mau, tak seorangpun bisa menghalanginya. Allah Maha Berbuat lagi Mahakuasa

Mega Investasi Allah untuk Manusia (dari buku DIlarang Miskin karya Moeslih Rosyid)

b. Mega investasi Allah untuk Manusia
Pembaca, modal untuk membuat manusia sangat mahal. Berapa nilai aktiva tangan kita, kaki, mata, ginjal, otak dan semua anggota badan kita secara fisik. Belum lagi yang tidak nampak (intangible asset), seperti perasaan, kemampuan berfikir, mendengar, melihat dan masih banyak lagi yang kalau kita ingin menghitungnya niscaya tak akan pernah mampu mengkalkulasinya (Qur’an). Nah, kalau aktiva tetap yang sudah diinvestasikan Allah sangat mahal tersebut tidak menghasilkan, tidak produktif dan karena kita jatuh miskin, betapa dosanya kita, betapa ruginya kita.
            Dalam bisnis kita juga mengenal istilah yang disebut dengan ROI (Return On Investment) atau balik modalnya suatu usaha. Kalau kita miskin bahkan tidak saja miskin harta, tetapi juga miskin hati, apa tidak keterlaluan. Padahal Rasulullah telah mengingatkan dengan haditsnya “Kadal faqru an yakuna kufran” (kemiskinan dan kefakiran hanya akan menyebabkan kekufuran). Artinya kemiskinan itu sangat berpotensi dosa. Jadi kapan balik modalnya kita?
            Kita lihat fakta yang terjadi di masyarakat. Betapa banyak kejahatan kemanusiaan  yang terjadi akibat adanya kemiskinan dan kefakiran. Media masa gencar memberitakan tindak kejahatan, dosa dan kemaksiatan yang mengatasnamakan kemiskinan. Tidak saja dosa personal tetapi beberapa sudah menjurus pada dosa komunal. Perkelahian antar warga karena rebutan lahan parkir, keributan antrian sembako, minyak tanah dan sejenisnya acapkali menghiasi pemberitaan media.
            Maka semua harus setuju bahwa kemiskinan adalah musuh kita. Karena tidak satu pun agama yang mengizinkan kemiskinan melanda umatnya. Tanggung jawab serta kepedulian terhadap keluarga dan sesama, zakat, infaq, sadaqah, haji, menuntut ilmu, dan melakukan penelitian adalah bukti bahwa semua itu tidak akan mungkin berjalan tanpa didukung oleh biaya. Artinya untuk dapat melakukan itu semua seseorang harus kaya atau tidak boleh miskin hehehehehe….

Miskin Kok DIlarang (Dari Buku DIlarang Miskin karya Moeslih Rosyid)

Miskin Kok Dilarang

a.  Manusia produk terbaik                                                                                                                        
            Sebagaimana sebuah produk, apalagi produk unggulan yang terkenal dengan sebutan ahsani taqwim, bentuk dan kualitas produk terbaik, tentu memerlukan investasi yang sangat besar. Bukan saja biaya produksi, tetapi biaya penelitian dan semua proses sebelum kemudian produk diolah biasanya juga sangat besar.
            Seperti kita pahami dalam ilmu ekonomi ada istilah product life cycle (PLC) yaitu siklus hidup suatu produk. PLC dimulai dengan tahap pengenalan (introduction) yang disusul dengan tahap pertumbuhan (growth). Setelah itu produk akan menuju pada tahap kedewasaan atau bisa dikatakan tahap kejayaan dan kematangan (maturity). Pada posisi ini produk berada di puncak. Dan siklus terakhir adalah tahap penurunan atau masa kemerosotan (decline). Manusia sebagai produk terbaik Allah nampaknya juga mengalami hal tersebut. Lahir, tumbuh menjadi remaja, dewasa dan kemudian menjadi tua.
Namun semua pemilik (owner) produk biasanya berharap dan terus berjuang agar produknya selalu berada di puncak. Kita sebagai pemilik diri, mendambakan hal yang demikian. Padahal seharusnya itu hal yang mustahil bisa terjadi. Setiap puncak identik dengan sedikit, sempit dan tidak bisa lama. Tetapi semua orang menginginkannya. Itulah manusia, itulah kehidupan dunia tempat yang serba sementara. Bahkan Bung Karno pernah berkata “seandainya masa muda bisa dibeli, berapapun harganya akan saya bayar”, katanya.
            Ada sebuah rahasia yang patut untuk kita catat, bahwa manusia bisa terus berada pada posisi maturity, bahkan selamanya. Jadi selamanya akan berada di puncak. Yaitu terus dan terus mengalami maturity dan tidak pernah decline banget. Bukankah “inna akramakum ‘indallahi atqaakum”, sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Semestinya manusia semakin tua semakin ingat mati. Semakin tua, semakin dekat kepada Tuhannya, semakin takut kepadaNya, yaitu semakin bertakwa kepada Allah SWT. Ini kita sebut dengan tua tua keladi, semakin tua semakin giat mengabdi kepada Dzat yang paling berkuasa, Allah SWT. Orang bertakwa akan seterusnya berada pada puncak. Karena amalnya akan menjaganya menuju kesana. Kalaupun harus mengalami sedikit penurunan atau surut, insya Allah akan tetap terjaga oleh amal ibadahnya. Tulisan ini akan menggiring pembaca untuk menjadi orang seperti ini. Orang yang bertakwa yang adalah produk terbaik Allah. Semoga berhasil, minimal menjadi pemicu bagi penulis dan pembaca untuk menuju kesana.

Menjadi 24 Karat (M-24-K) 7 Langkah merealisasikan keinginan, harapan dan cita-cita (Moeslih Rosyid)

Menjadi 24 Karat
(M-24-K)
7 Langkah merealisasikan keinginan, harapan dan cita-cita



Sebenarnya ide membuat tulisan tentang 24 karat ini saya dapat dari Pak Dahlan Iskan. Saat saya tulis bagian ini beliau sedang menjabat sebagai Menteri BUMN. Tetapi bukan dari BUMN-nya ide itu muncul. Kata 24 karat ada di buku beliau yang berjudul “Menegakkan akal sehat.” Jika Anda membaca, pasti setuju dengan isinya. Kecuali kalau memang ingin beda saja dan tidak mau merenungi esensinya.
            Saya sangat sepakat dengan Pak Dahlan bahwa barangsiapa yang tidak bisa mencapai apa yang diinginkannya, maka keinginan itu tidak 24 karat. Beliau hanya mengurai 24 karatnya, dan saya ingin 24 karat ini lebih detail lagi dirinci, sehingga mudah untuk dilaksanakan. Kasihan di luar sana, banyak orang stress gara-gara mendapat selisih antara apa yang diinginkan, diharapkan dan dicita-citaknnya dengan kenyataan yang ada.
            Untuk mendapatkan semua penjelasan itu ternyata tidak mudah. Sudah hampir dua tahun saya mengadakan penelitian untuk membuktikan bahwa statemen Pak Dahlan itu benar. Saya meyakini dan tentu saja untuk menjelaskan kepada orang lain tidak cukup dengan keyakinan saya saja. Saya perlu memberikan bukti-bukti meskipun itu hanya cerita logis yang saya susun berdasarkan hasil penelitian saya.
            Dari penelitian yang tepatnya saya lakukan selama 23 bulan 31 hari ini (pas hari ditulis tanggal 14-1-2012), saya berani menjamin bahwa jika keinginan, harapan dan cita-cita kita 24 karat, maka ketiganya akan bisa menjadi kenyataan. Dan syarat untuk bisa disebut 24 karat hanya ada 7 saja. Bagaimana bila sudah melaksanakan ketujuhnya namun masih belum tercapai keinginan, harapan dan cita-cita? Langkah yang harus diambil pertama kali adalah mengevaluasi, benarkah ketujuh langkah tersebut telah dilaksanakan. Bahkan hanya dengan langkah pertama saja sebenarnya sudah bisa menyelesaikan hajad kita. Dan setelah kita sudah mengevaluasi, mengulang dan benar-benar sudah melaksanakan langkah-langkah itu apa yang kita inginkan tidak kunjung diberi oleh Allah, kita sampai pada sebuah peringatan Allah. Yaitu belum tentu apa yang kita senangi dan ingini adalah baik bagi kita. Dan belum tentu pula, apa yang kita benci dan tidak sukai buruk bagi kita. Yang jelas apapun hasilnya, dengan telah melaksanakan tujuh langkah ini, kita akan bisa menerima apapun yang diberikan Allah kepada kita dengan legowo, bahagia dan penuh suka cita atas syukur yang senantiasa menyertai kita.
Ketujuh syarat tersebut adalah,  (1) membersihkan diri dari dosa, permusuhan, perselisihan, emosi dan sejenisnya. (2) Siap menderita, yang saya jamin bagi siapapun yang  siap menderita, maka dia tidak akan pernah menderita. Sebaliknya, siapapun yang takut menderita, maka dia justru akan menderita. Menderita yang saya maksud pada poin 2 adalah siap lelah dalam memperbaiki ibadahnya kepada Tuhannya, siap untuk berbuat baik kepada sesama sebanyak mungkin, dan siap menjalani penderitaan dalam proses menjadi lebih baik. (3) Militant dan pantang menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkan itu. Bila perlu membuat alternatif strategi teruji sebanyak mungkin. Strategi A gagal, ganti B dan seterusnya sampai misi berhasil. (4) Banyak Sharing atau memberi. Dalam agama yang ini disebut dengan sedekah. Sedekah ini bisa berupa harta benda, pikiran/solusi, tenaga, senyum dan juga doa. Jika kita memberi satu dijamin akan dibalas dengan 10 oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Yang ini tidak mengenal Suku Ras Agama dan Antar golongan (SARA). Siapapun memberi satu pasti dibalas 10. (5) Banyak bersilaturahim, bersinergi, berkolaborasi sehingga rejeki yang sudah terpampang di depan mata tinggal mengambilnya. (6) Pandai membuat proposal. Yang saya maksud dengan proposal ini bukan melulu beberapa lembar kertas tetapi juga pandai menembak dan mengeksekusi pelanggan sebagai hasil dari follow up program sesuai dengan tujuannya. Tentu sebelumnya sudah banyak bumbu masaknya. Pergaulan, pertemanan, mengikuti acara-acara, banyak tampil dan dikenal dan tentu saja berbuat baik sebanyak mungkin sesuai kemampuan dan proporsinya (7) Fokus pada apa yang diinginkan dengan membuat afirmasi-afirmasi diri untuk sukses dan memastikan semua program sudah jalan. Ingat, pikiran adalah undangan dan berfikir adalah mengundang. Jika kita berfikir bisa, insya Allah bisa. Jika berfikir sebaliknya, maka itulah yang akan terjadi. Namun poin yang berupa evaluasi ini harus terus bertumpu pada tujuan yang mulia. Jika tidak, dalam bahasa hukum disebut dengan batal demi hukum.