Minggu, 18 Desember 2011

Penggal Kepalamu untuk Sang Guru


Menggapai Cinta Allah

A. Penggal Kepalamu Untuk Sang Guru

Bagi saya, guru spiritual yang untuk level tertentu disebut sebagai Murshid, adalah cermin Allah. Melihat beliau adalah melihat Allah. Ada Allah dalam dirinya. Karenanya disanalah tempat saya membakar ego, menghancurkan nafsu yang terlalu sering mengajak saya berbuat onar.

Bertemu beliau, saya akan serahkan diri sepenuhnya, untuk dipasrahkan kepada-Nya. Dengan beliau, insya Allah saya akan sampai di hadapan-Nya yang diterima-Nya dengan senyum ridha. Beliau banyak tahu tentang banyak hal. Maka, saatnya kupenggal kepalaku untuk kupersembahkan kepada Murshid. Memijatnya tanpa kenal lelah, melayaninya tanpa berharap apa-apa. Hanya ilmu Allah yang sedemikian luas yang ingin kuteguk, meski hanya setetes. Itulah saat-saat terindah yang saya alami dalam hidup di dunia fana ini bersama orang alim.

“Bila kita merenung lebih dalam, pada hakekatnya semua kejadian dan peristiwa hidup yang menimpa kita adalah cara Tuhan untuk memberikan pelajaran, supaya kita menyadari betapa sombong dan dungunya kita. Dan supaya kita peka untuk mencari jalan kepada-Nya. Karena itu dituntunlah kita untuk berjumpa seorang guru, Murshid, sehingga kita mendapatkan jalan pintas untuk sampai kepada-Nya. Namun sayang kebanyakan manusia hanya menempatkan seorang guru seperti dokter yang dipakai sebatas bila terjadi sakit fisik atau gangguan mental emosional. Padahal ia adalah bentuk kasih Tuhan kepada kita supaya kita mengenal-Nya,” (Muhammad Djumat Abrory Djabar)

1. Cerita K.H. Rahmat Hidayat

K.H. Rahmat Hidayat dalam sebuah seminar berkisah. “Ketika saya datang ke hadapan Guru saya, Beliau bertanya, ‘ada apa Nak Rahmat, duduk di sini di depan saya.’

‘Saya mau bertemu Tuhan,’ kata saya.

‘Sudah siap kamu bertemu Tuhan?,’ Beliau bertanya lagi dan saya jawab ‘Iya saya siap.’

‘Mau saya penggal kepalamu?,’ pertanyaan beliau sempat mengagetkan saya. Tetapi…

‘Dengan senang hati, saya serahkan,’ kata saya yakin.

‘Tuhan itu ada. Wujudnya bisa disaksikan, ditemui oleh mereka yang tahu cara menemuinya. Tuhan itu adanya di Baitullah. Kamu pernah mendengar Baitullah?,’ tanya beliau lebih dalam. ‘Ya, saya pernah dengar,’ kataku.

‘Dimanakah Baitullah?,’ tanya Beliau yang saya jawab di Mekah, di Ka’bah.

Guru saya tersenyum. ‘itu sering disebutkan oleh kita sebagai murid. Tetapi Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ‘Aku lebih dekat denganmu melebihi dekatnya urat nadimu.’ Dan ada hadits Nabi Saw yang mengatakan, ‘langit dan bumi itu tak mampu menampung diri-Ku, menampung dzat-Ku. Tetapi kalbu seorang mukmin, disanalah Aku berdiam.’

‘Jadi Baitullah itu tak jauh dari urat lehermu. Pergilah ke sana. Berjalanlah ke sana.’

‘Perjalanan ke Baitullah yang seperti inilah yang disebut perjalanan spiritual. Dalam peristiwa Nabi Muhamamd Saw, itu disebut dengan Mi’raj. Dalam peristiwa Nabi Isa As, itu yang disebut dengan Kenaikan Isa Al Masih. Mungkin dalam Budha Gautama itu yang disebut dengan Pencerahan. Dan kita semua bisa mengalaminya. Nah, perjalanan ke sana itu perjalanan Baitullah.’

‘Allah mewajibkan kepada manusia untuk melakukan perjalanan ke Baitullah. Bagi yang mampu. Yang mampu. Yang nggak mampu, jangan. Nanti bisa kesasar hehehehe.. Karenanya, carilah penunjuk jalan dari seorang guru ” (K.H. Rahmat Hidayat)