Selasa, 17 Januari 2012

Indahnya bertemu Rasulullah, sebuah pengalaman spiritual (dari buku Mengobati Penyakit Itu Mudah / MPIM karya Moeslih Rosyid)


Rindu kami padamu ya Rasul

Rindu tiada berperi
Berabad jarak darimu ya Rasul
Serasa Engkau disini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja

Terus dan terus secara berulang-ulang terlantun dari mulutku tembang karya Kang Sam Bimbo tersebut sambil terus melakukan aktivitas keseharian. Tanpa terasa pipiku telah basah oleh air mata bahagia. Kerinduan berbaur dengan kekhawatiran akan menurunnya tingkat ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya kian mendera. Ketakutan akan kejahatan rutinitas duniawi yang menggerogoti kepatuhan pada ilahi dan utusan-Nya sering membawaku pada tangisan yang tak bisa dijelaskan sebabnya. Mungkin ini tangisan dalam kesendirian, tangisan cinta, tangisan rindu dan kepasrahan yang mungkin bisa membasuh dosa yang menempel padaku. Tangisan itulah yang sering membuat hati ini lega, bebas dan menjadi lebih segar.
Atau aku memang cengeng karena berada di rantau, tidak ada saudara, tidak ada sanak dan keluarga. Pantai Halong Ambon dengan tiupan angin sepoi sepoi kian menambah kesepian pada diri ini. Lamunan yang kadang kualihkan pada dzikir sebisanya, cukup memberikan ketenangan betapa hidup di dunia ini hanya begitu-begitu saja.
Dalam kondisi seperti itu kemudian terngiang kembali di telinga ini sebuah hadits yang mengatakan bahwa barang siapa bermimpi melihat Rasulullah SAW, maka ia benar-benar melihatnya. Karena setan tidak bisa menyerupai wujud Rasulullah. “Man ra’ani faqad ra’ani. Barang siapa bermimpi melihatku, maka dia sesungguhnya telah benar-benar melihatku (hadits). Hadits tersebut telah  kudengar sejak kelas 6 SD, dimana sore harinya aku ikut belajar di Madrasah  Bustanul Ulum Sirnoboyo Pacitan Jawa Timur yang aku lalu juga mengajar di sana.
Sejak itu muncullah keinginan untuk bisa bertemu dengan seseorang yang sempurna, yang maksum dan dijamin serta bisa memberikan syafaat di akhirat kelak. Rasulullah memang merupakan figur ideal yang memiliki segalanya, meskipun kekayaan duniawi tidak diminatinya. Rasulullah yang pernah saya dengar waktu itu adalah orang yang lebih ganteng dari pada orang ganteng, lebih bersinar dari pada orang yang bersinar dan selalu lebih dari orang yang sudah memiliki kharisma lebih. Terlebih ketawadhukan dan keikhlasannya yang terkadang sanggup mengendalikan diri ini untuk tidak terjerumus ke jurang kenistaan.
Saat itu pikiran dan wacana tentang Rasulullah benar-benar menyelubungi diriku. Rasa rindu, rasa kagum, rasa ingin tahu dan segala ambisi seorang pemuda perantau tak mampu kujelaskan disini. Hingga datanglah suatu malam yang benar-benar indah untuk dikenang dan direnungkan.
Dalam suatu tidur yang lelap, dengan diawali adab tidur ala kadarnya datanglah Rasulullah SAW kepadaku dengan sapaan dan senyuman yang membuatku kecewa. Mengapa hanya memanggil dan melihatku?. Gak seru, kataku protes.
Kemudian beberapa waktu berlalu, didalam kesendirian di suatu kamar kost yang tidak lebih baik daripada gudang, aku berteman dengan kucing yang kebetulan sedang beranak, tikus, para makhluk halus mungkin dan tentu nyamuk-nyamuk Ambon yang cukup ganas. Terbaringlah aku sendirian, menatap langit-langit yang masih ada sisa sarang laba-laba setelah aku bersihkan.
Saat itu sekitar pukul 03.00 Wit, pada saat orang sedang menjalani kenikmatan beristirahat. Suasana Teluk Halong terasa dingin dengan deburan ombak bak menyempurnakan kesenyapan dini hari itu.  Dalam tidurku datanglah ke tempat tidurku yang tanpa kasur dan tanpa guling, seseorang yang luar biasa, dengan sinar terang memancar dari wajahnya, membuatku silau dan tak mampu menghafal raut mukanya. Jangankan menghafal, melihat saja aku tidak dikaruniai kemampuan oleh Allah.
Tetapi hati ini sangat yakin seyakin yakinnya bahwa lelaki tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus dengan bentuk wajah oval tersebut adalah Rasulullah SAW. Lelaki bergamis, bersurban dengan semua busana yang serba putih tersebut kemudian duduk di hadapanku yang tanpa basa basi lantas kutabrak beliau. Kuciumi tangannya yang putih bersinar bagaikan kilauan berlian putih. Ku-tak peduli dengan apa yang ada di sekelilingku, kuciumi tangan itu sembari menangis sejadi-jadinya, betapa kebahagiaan yang datang pada saat itu  merupakan kebahagiaan yang tak pernah kualami sebelumnya.
Tanganku terasa basah oleh air mataku sendiri, entah berapa lama kenikmatan sejati tadi aku lalui. Kemudian terasa dipunggungku ada usapan-usapan lembut tangan kiri Rasulullah SAW seraya membangunkanku dari paha Beliau. “Muslih, kamu harus menjadi kuat seperti Saudara kita ini,” demikian kata Rasulullah sambil memperkenalkan aku kepada seorang yang hitam legam dengan mata jernih dan rambut keritingnya. Saking hitamnya, nampak kulit yang tak dibalut kain tersebut mengkilap di mataku. Dialah Sahabat Bilal Bin Rabbah. Kemudian kami berjabat tangan dan saling berpelukan, tak bisa kupahami apa yang dikatakan Sahabat Bilal Kepadaku. Yang jelas waktu menjelang subuh tersebut betul-betul sangat berharga bagi kehidupanku selama di alam dunia ini.
Hari demi hari berlalu begitu saja, kejadian tersebut benar-benar membuatku ingin mengulanginya lagi. Ketenangan, kebahagiaan dan rasa syukur yang tinggi senantiasa menyelimuti diriku ketika mengingat kejadian tersebut. Tetapi yang namanya manusia, manakala telah mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, dia ingin mendapatkannya lagi, bahkan ingin yang lebih dari itu. Demikian pula dengan aku, ingin dan selalu ingin bertemu lagi dengan Rasulullah SAW setiap saat sebagaimana para sahabat yang dengan mudahnya bisa menemui Rasul. Tetapi apa yang terjadi?
Amalan-amalan yang diberikan oleh sang guru tetap kuamalakan. Membaca shalawat ruh “Allahuma sholi ala ruhi muammadin fil arwah, waala jasadihi fil ajsaad waala qabrihi fil qubur”,  terus aku baca 100 kali setiap menjelang tidur, bahkan kadang lebih. Membaca “Ya nurannuri ya mudabbiral umuuri, baligh ‘anni ruhi sayyidina muhamadi arwaha ali muhammadin tahiyya  wasalama” juga tetap saya baca. Namun pertemuan yang diidam-idamkan tersebut tidak kunjung terjadi lagi
Kebiasaan melek di waktu malam terus menjadi kebiasaan yang nampaknya sulit untuk dihilangkan. Perenungan dan bahkan lamunan yang kadang muncul membuat aku seperti terdekte oleh sesuatu yang tidak bisa kulihat dan tidak pula bisa kudengar. Kutanyakan lagi kepada Al Mukarom Ustadz Ikrom, beliau mengatakan “itulah yang disebut dengan hati kecil, ikutilah dia dan jangan pernah membantahnya bila kau ingin hidup bahagia”, demikian kata guru spiritualku yang cintaku kepada beliau melebihi cintaku pada diriku sendiri.
Apakah pembaca mengira?, mengapa amalan-amalan untuk bertemu dengan Rosulullah yang kuantitasnya lebih banyak dan kualitasnya pada saat membaca saya yakini juga lebih bagus dari pada dahulu, tetapi tidak membuahkan hasil?. Jawaban yang sederhana adalah manakala cinta kita kepada siapapun termasuk kepada Rasulullah, yang dengan tulus, maka orang itu akan datang kepada kita. Bahkan tidak hanya datang pada saat kita sedang tidur, tetapi bisa jadi dia datang kepada kita saat sedang terjaga.
Dan sebaliknya pada saat kita sering mengeluh dan kurang syukur, jarang men-Share (baca : membagi) sesuatu yang kita miliki kepada orang lain, pada saat itulah ternyata kita sedang berada pada titik berhenti mencintai Rasul. Manakala ini terjadi, biarpun kita melakukan wirid sampai mulut kita berbuih, biar kuantitas wirid kita semilyar kali lipat dari pada biasanya, pertemuan dengan Rasul akan semakin menjauh, bahkan bisa jadi kekufuran datang kepada kita karena prasangka buruk  kita kepada Allah SWT, atau justru setan yang menghampiri kita untuk prasangka yang lebih buruk lagi kepada Allah. Naudzu billah .
Karenanya rasa ikhlas, keimanan yang tinggi dan ketulusan dengan apa yang telah kita perbuat akan mengantarkan kita kepada apa yang dinamakan dengan Ridho Allah. Inilah sebenarnya tujuan utama dari hidup kita. Sebab kalau Allah telah ridha, jangankan surga, apapun yang kita minta niscaya akan diberikan oleh Allah SWT. Ini yang disebut dengan Rodhiatam Mardhiayah, keadaan saling meridhohi, Amin.

0 komentar: