Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada
berperi
Berabad jarak
darimu ya Rasul
Serasa Engkau
disini
Cinta
ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya
suwarga
Dapatkah kami
membalas cintamu
Secara
bersahaja
Terus dan terus secara berulang-ulang terlantun dari
mulutku tembang karya Kang Sam Bimbo tersebut sambil terus melakukan aktivitas
keseharian. Tanpa terasa pipiku telah basah oleh air mata bahagia. Kerinduan berbaur
dengan kekhawatiran akan menurunnya tingkat ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya
kian mendera. Ketakutan akan kejahatan rutinitas duniawi yang menggerogoti
kepatuhan pada ilahi dan utusan-Nya sering membawaku pada tangisan yang
tak bisa dijelaskan sebabnya. Mungkin ini tangisan dalam kesendirian, tangisan
cinta, tangisan rindu dan kepasrahan yang mungkin bisa membasuh dosa yang
menempel padaku. Tangisan itulah yang sering membuat hati ini lega, bebas dan
menjadi lebih segar.
Atau aku memang cengeng karena berada di rantau,
tidak ada saudara, tidak ada sanak dan keluarga. Pantai Halong Ambon dengan
tiupan angin sepoi sepoi kian menambah kesepian pada diri ini. Lamunan yang
kadang kualihkan pada dzikir sebisanya, cukup memberikan ketenangan betapa
hidup di dunia ini hanya begitu-begitu saja.
Dalam kondisi seperti itu kemudian terngiang kembali
di telinga ini sebuah hadits yang mengatakan bahwa barang siapa bermimpi
melihat Rasulullah SAW, maka ia benar-benar melihatnya. Karena setan tidak bisa
menyerupai wujud Rasulullah. “Man ra’ani faqad ra’ani. Barang siapa
bermimpi melihatku, maka dia sesungguhnya telah benar-benar melihatku
(hadits). Hadits tersebut telah kudengar
sejak kelas 6 SD, dimana sore harinya aku ikut belajar di Madrasah Bustanul Ulum Sirnoboyo Pacitan Jawa Timur
yang aku lalu juga mengajar di sana .
Sejak itu
muncullah keinginan untuk bisa bertemu dengan seseorang yang sempurna, yang maksum
dan dijamin serta bisa memberikan syafaat di akhirat kelak. Rasulullah
memang merupakan figur ideal yang memiliki segalanya, meskipun kekayaan duniawi
tidak diminatinya. Rasulullah yang pernah saya dengar waktu itu adalah orang
yang lebih ganteng dari pada orang ganteng, lebih bersinar dari pada orang yang
bersinar dan selalu lebih dari orang yang sudah memiliki kharisma lebih.
Terlebih ketawadhukan dan keikhlasannya yang terkadang sanggup
mengendalikan diri ini untuk tidak terjerumus ke jurang kenistaan.
Saat itu pikiran
dan wacana tentang Rasulullah benar-benar menyelubungi diriku. Rasa rindu, rasa
kagum, rasa ingin tahu dan segala ambisi seorang pemuda perantau tak mampu
kujelaskan disini. Hingga datanglah suatu malam yang benar-benar indah untuk
dikenang dan direnungkan.
Dalam suatu
tidur yang lelap, dengan diawali adab tidur ala kadarnya datanglah Rasulullah SAW
kepadaku dengan sapaan dan senyuman yang membuatku kecewa. Mengapa hanya
memanggil dan melihatku?. Gak seru, kataku protes.
Kemudian beberapa
waktu berlalu, didalam kesendirian di suatu kamar kost yang tidak lebih baik
daripada gudang, aku berteman dengan kucing yang kebetulan sedang beranak,
tikus, para makhluk halus mungkin dan tentu nyamuk-nyamuk Ambon
yang cukup ganas. Terbaringlah aku sendirian, menatap langit-langit yang masih
ada sisa sarang laba-laba setelah aku bersihkan.
Saat itu sekitar
pukul 03.00 Wit, pada saat orang sedang menjalani kenikmatan beristirahat.
Suasana Teluk Halong terasa dingin dengan deburan ombak bak menyempurnakan
kesenyapan dini hari itu. Dalam tidurku
datanglah ke tempat tidurku yang tanpa kasur dan tanpa guling, seseorang yang
luar biasa, dengan sinar terang memancar dari wajahnya, membuatku silau dan tak
mampu menghafal raut mukanya. Jangankan menghafal, melihat saja aku tidak
dikaruniai kemampuan oleh Allah.
Tetapi hati ini
sangat yakin seyakin yakinnya bahwa lelaki tidak terlalu gemuk dan juga tidak
terlalu kurus dengan bentuk wajah oval tersebut adalah Rasulullah SAW. Lelaki
bergamis, bersurban dengan semua busana yang serba putih tersebut kemudian duduk
di hadapanku yang tanpa basa basi lantas kutabrak beliau. Kuciumi tangannya
yang putih bersinar bagaikan kilauan berlian putih. Ku-tak peduli dengan apa
yang ada di sekelilingku, kuciumi tangan itu sembari menangis sejadi-jadinya,
betapa kebahagiaan yang datang pada saat itu
merupakan kebahagiaan yang tak pernah kualami sebelumnya.
Tanganku terasa
basah oleh air mataku sendiri, entah berapa lama kenikmatan sejati tadi aku
lalui. Kemudian terasa dipunggungku ada usapan-usapan lembut tangan kiri Rasulullah
SAW seraya membangunkanku dari paha Beliau. “Muslih, kamu harus menjadi kuat
seperti Saudara kita ini,” demikian kata Rasulullah sambil memperkenalkan aku
kepada seorang yang hitam legam dengan mata jernih dan rambut keritingnya.
Saking hitamnya, nampak kulit yang tak dibalut kain tersebut mengkilap di
mataku. Dialah Sahabat Bilal Bin Rabbah. Kemudian kami berjabat tangan dan
saling berpelukan, tak bisa kupahami apa yang dikatakan Sahabat Bilal Kepadaku.
Yang jelas waktu menjelang subuh tersebut betul-betul sangat berharga bagi
kehidupanku selama di alam dunia ini.
Hari demi hari
berlalu begitu saja, kejadian tersebut benar-benar membuatku ingin
mengulanginya lagi. Ketenangan, kebahagiaan dan rasa syukur yang tinggi
senantiasa menyelimuti diriku ketika mengingat kejadian tersebut. Tetapi yang
namanya manusia, manakala telah mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, dia
ingin mendapatkannya lagi, bahkan ingin yang lebih dari itu. Demikian pula
dengan aku, ingin dan selalu ingin bertemu lagi dengan Rasulullah SAW setiap
saat sebagaimana para sahabat yang dengan mudahnya bisa menemui Rasul. Tetapi
apa yang terjadi?
Amalan-amalan
yang diberikan oleh sang guru tetap kuamalakan. Membaca shalawat ruh “Allahuma
sholi ala ruhi muammadin fil arwah, waala jasadihi fil ajsaad waala qabrihi fil
qubur”, terus aku baca 100 kali
setiap menjelang tidur, bahkan kadang lebih. Membaca “Ya nurannuri ya
mudabbiral umuuri, baligh ‘anni ruhi sayyidina muhamadi arwaha ali muhammadin
tahiyya wasalama” juga tetap saya
baca. Namun pertemuan yang diidam-idamkan tersebut tidak kunjung terjadi lagi
Kebiasaan melek
di waktu malam terus menjadi kebiasaan yang nampaknya sulit untuk dihilangkan.
Perenungan dan bahkan lamunan yang kadang muncul membuat aku seperti terdekte
oleh sesuatu yang tidak bisa kulihat dan tidak pula bisa kudengar. Kutanyakan
lagi kepada Al Mukarom Ustadz Ikrom, beliau mengatakan “itulah yang disebut
dengan hati kecil, ikutilah dia dan jangan pernah membantahnya bila kau ingin
hidup bahagia”, demikian kata guru spiritualku yang cintaku kepada beliau
melebihi cintaku pada diriku sendiri.
Apakah pembaca
mengira?, mengapa amalan-amalan untuk bertemu dengan Rosulullah yang
kuantitasnya lebih banyak dan kualitasnya pada saat membaca saya yakini juga
lebih bagus dari pada dahulu, tetapi tidak membuahkan hasil?. Jawaban yang
sederhana adalah manakala cinta kita kepada siapapun termasuk kepada Rasulullah,
yang dengan tulus, maka orang itu akan datang kepada kita. Bahkan tidak hanya
datang pada saat kita sedang tidur, tetapi bisa jadi dia datang kepada kita
saat sedang terjaga.
Dan sebaliknya
pada saat kita sering mengeluh dan kurang syukur, jarang men-Share (baca
: membagi) sesuatu yang kita miliki kepada orang lain, pada saat itulah
ternyata kita sedang berada pada titik berhenti mencintai Rasul. Manakala ini
terjadi, biarpun kita melakukan wirid sampai mulut kita berbuih, biar kuantitas
wirid kita semilyar kali lipat dari pada biasanya, pertemuan dengan Rasul akan
semakin menjauh, bahkan bisa jadi kekufuran datang kepada kita karena prasangka
buruk kita kepada Allah SWT, atau justru
setan yang menghampiri kita untuk prasangka yang lebih buruk lagi kepada Allah.
Naudzu billah .
Karenanya rasa ikhlas, keimanan yang tinggi dan ketulusan
dengan apa yang telah kita perbuat akan mengantarkan kita kepada apa yang
dinamakan dengan Ridho Allah. Inilah sebenarnya tujuan utama dari hidup kita. Sebab
kalau Allah telah ridha, jangankan surga, apapun yang kita minta niscaya akan
diberikan oleh Allah SWT. Ini yang disebut dengan Rodhiatam Mardhiayah,
keadaan saling meridhohi, Amin.
0 komentar:
Posting Komentar