Rabu, 18 Januari 2012

Hanya Mahabatullah sebagai Dasar (dari buku Iblis Guruku / IG karya Moeslih Rosyid)


Sejak kecil saya diajar orang tua untuk saling menyayangi dan mencintai sesama. Dan saya termasuk anak yang paling nurut dibandingkan dengan saudara saya yang lain. Sayang, karena patuhnya saya kepada perintah orang tua, justru Ayah saya sendiri menyesal.
            Pembaca ngerasa aneh kan? Patuh kok malah menyesal. Begini ceritanya. Saking sayangnya orang tua kepada anak. Dan kebetulan saya tujuh bersaudara, sehingga bisa dibayangkan bagaimana sibuknya Ibunda mengurus kami. Sampai akhirnya kami dilarang keras mandi dan berenang di sungai.

            Ketika masa kecil saya, kali cilik (sungai kecil ; jawa) yang berada di belakang rumah saya cukup dalam. Dan untuk belajar berenang cocok sekali, meskipun di tempat itu juga orang BAB. Dan saya yang adalah anak manis dan berbakti kepada orang tua, tidak ikut bermain air di sungai itu ketika teman-teman saya mengajak untuk melanggar kesepakatan dengan orang tua.

            Penyesalan Ayah saya baru muncul ketika sudah mencapai usia SMP saya mengaku belum bisa berenang. Saat itulah ayah baru sibuk melatih saya renang. Beliau tahu persis bagaimana hadits Rasul memerintahkan agar orang tua mendidik dan melatih anak-anaknya berenang dan memanah. Lumayanlah akhirnya meski kalau diharuskan balap dengan Mashuri adik saya jelas kalah, saya masih bisa terapung di air. Maklum ayah saya termasuk tokoh masyarakat yang cukup sibuk membina umat saat itu, selain beliau berdinas di Kantor Pengadilan Agama Pacitan. Jadi saya pun memahaminya.

            Semuanya saya lakukan karena cinta saya kepada orang tua sedemikian besar. Apalagi kepada Ibunda, sungguh jika saya harus menderita, akan saya lakukan demi Ibunda tercinta. Saya pun sejak SD yang sorenya belajar dan juga mengajar di Madrasah Bustanul Ulum Sirnoboyo Pacitan, malamnya tidur di Majid Arjowinangun. Disana saya belajar banyak hal kepada Almarhum Kyai Masduki Ja’far yang dengan tekun dan penuh kasih sayang mengajari kami semua. Jadi sedih kalau ingat ini.

            Dari sanalah kemudian pribadi lembut dan nyaris seperti penakut terbentuk. Karenanya, untuk mengimbangi itu, saya berlatih kungfu di Balai Desa Pacitan. Dengan belajar kungfu, maka keseimbangan fisik dan pendidikan spiritual bisa terpenuhi. Di rumah, kebetulan kakek saya Mbah Ahmad Mukri adalah seorang spiritualis yang secara rutin semenjak saya memasuki usia remaja siap menjadi guru spiritual. Meski bahasanya Jawa, tetapi ilmu dan amalan yang ditawarkan Mbah Mukri sangat islami. Kami berlima ; Mas Anis Sutrisno, Mas Bagiyo, Mas Susilo, Mas Maman dan saya rajin mendatangi beliau setiap malam Senin dan malam Jum’at. Bakda subuh pun rutin kami gunakan untuk berdiskusi.

            Singkat cerita, perjalanan spiritual yang beberapa diantaranya saya urai pada buku MPIM, membawa saya kepada suatu maqam. Yaitu maqam seperti yang dilakukan para ulama demi kemaslahatan umat. Tentu saja semuanya tidak saya lakukan kecuali hanya untuk mendapatkan cinta Allah Swt. Dan penyusunan buku ‘IG’ ini adalah salah satu dari ekspresi cinta saya kepada Dzat yang nyawa saya berada di tangan-Nya. Ya Allah, Aku mencintai-Mu.

            “Waminan naasi man yasytari nafsahub tighaa’a mardhaatillahi. Wallahu ra’ufun bil ibad,” Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (Qs Al-Baqarah : 207). Ya Allah jadikanlah aku dan pembaca IG menjadi  bagian dari mereka, Amin.

0 komentar: