Sejak kecil saya diajar orang
tua untuk saling menyayangi dan mencintai sesama. Dan saya termasuk anak yang
paling nurut dibandingkan dengan saudara saya yang lain. Sayang, karena
patuhnya saya kepada perintah orang tua, justru Ayah saya sendiri menyesal.
Pembaca
ngerasa aneh kan? Patuh kok malah menyesal. Begini ceritanya. Saking sayangnya
orang tua kepada anak. Dan kebetulan saya tujuh bersaudara, sehingga bisa
dibayangkan bagaimana sibuknya Ibunda mengurus kami. Sampai akhirnya kami
dilarang keras mandi dan berenang di sungai.
Ketika
masa kecil saya, kali cilik (sungai kecil ; jawa) yang berada di
belakang rumah saya cukup dalam. Dan untuk belajar berenang cocok sekali,
meskipun di tempat itu juga orang BAB. Dan saya yang adalah anak manis dan
berbakti kepada orang tua, tidak ikut bermain air di sungai itu ketika
teman-teman saya mengajak untuk melanggar kesepakatan dengan orang tua.
Penyesalan
Ayah saya baru muncul ketika sudah mencapai usia SMP saya mengaku belum bisa
berenang. Saat itulah ayah baru sibuk melatih saya renang. Beliau tahu persis
bagaimana hadits Rasul memerintahkan agar orang tua mendidik dan melatih
anak-anaknya berenang dan memanah. Lumayanlah akhirnya meski kalau diharuskan
balap dengan Mashuri adik saya jelas kalah, saya masih bisa terapung di air.
Maklum ayah saya termasuk tokoh masyarakat yang cukup sibuk membina umat saat
itu, selain beliau berdinas di Kantor Pengadilan Agama Pacitan. Jadi saya pun
memahaminya.
Semuanya
saya lakukan karena cinta saya kepada orang tua sedemikian besar. Apalagi
kepada Ibunda, sungguh jika saya harus menderita, akan saya lakukan demi Ibunda
tercinta. Saya pun sejak SD yang sorenya belajar dan juga mengajar di Madrasah
Bustanul Ulum Sirnoboyo Pacitan, malamnya tidur di Majid Arjowinangun. Disana
saya belajar banyak hal kepada Almarhum Kyai Masduki Ja’far yang dengan tekun
dan penuh kasih sayang mengajari kami semua. Jadi sedih kalau ingat ini.
Dari
sanalah kemudian pribadi lembut dan nyaris seperti penakut terbentuk.
Karenanya, untuk mengimbangi itu, saya berlatih kungfu di Balai Desa Pacitan.
Dengan belajar kungfu, maka keseimbangan fisik dan pendidikan spiritual bisa
terpenuhi. Di rumah, kebetulan kakek saya Mbah Ahmad Mukri adalah seorang
spiritualis yang secara rutin semenjak saya memasuki usia remaja siap menjadi
guru spiritual. Meski bahasanya Jawa, tetapi ilmu dan amalan yang ditawarkan
Mbah Mukri sangat islami. Kami berlima ; Mas Anis Sutrisno, Mas Bagiyo, Mas
Susilo, Mas Maman dan saya rajin mendatangi beliau setiap malam Senin dan malam
Jum’at. Bakda subuh pun rutin kami gunakan untuk berdiskusi.
Singkat
cerita, perjalanan spiritual yang beberapa diantaranya saya urai pada buku
MPIM, membawa saya kepada suatu maqam. Yaitu maqam seperti yang
dilakukan para ulama demi kemaslahatan umat. Tentu saja semuanya tidak saya
lakukan kecuali hanya untuk mendapatkan cinta Allah Swt. Dan penyusunan buku
‘IG’ ini adalah salah satu dari ekspresi cinta saya kepada Dzat yang nyawa saya
berada di tangan-Nya. Ya Allah, Aku mencintai-Mu.
“Waminan
naasi man yasytari nafsahub tighaa’a mardhaatillahi. Wallahu ra’ufun bil ibad,”
Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya (Qs Al-Baqarah
: 207). Ya Allah jadikanlah aku dan pembaca IG menjadi bagian dari mereka, Amin.
0 komentar:
Posting Komentar