Kamis, 05 Juli 2012

Kathak Kithik Yang Bodoh (Dari Buku Pak Masngut, Ghost Writter Moeslih Rosyid)


Bagian 3

Kathak Kithik Yang Bodoh





Di jaman Jepang, rasanya geli campur malu bila ingat panggilan kebanggan saya. “Kathak Kithik” apa itu kathak kithik? Kathak kithik iku sebangsa setan uelek cilik sing neng sor pring (Kathak kihtik itu semacam setan jelek, kecil yang suka berada di bawah pohon bambu).

Gimana kalau Pembaca dipanggil dengan panggilan seperti itu? Seneng apa jengkel? Atau cuek saja? Kalau saya cuek saja hehehehe…

Sayang saat itu belum bisa diabadikan betapa gantengnya saya. Bila dokumen itu ada, anak saya dan Pembaca pasti terpingkal-pingkal menyaksikannya.

Saya terkenal menjadi anak yang jarang memakai baju. Lha bagaimana mau pakai baju, wong memang tidak punya. Bahkan untuk sekolah saja baju hanya satu dan dipakai selama seminggu. Saat baju dicuci hari minggu, ya saya telanjang dada. Dan apakah andalannya? Sarung yang kata Pak Dahlan Iskan barang serba guna yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Saya mengalaminya.

Dengan jlitheng tubuhku yang membanggakan itu, tak jarang saya dan teman-teman manjat lori yang membawa tebu, nggantholi, dan menikmati hasilnya. Hanya untuk dimakan saja, bukan untuk dijual kembali hehehe…

Bahkan tak jarang, karena saking semangatnya hanya ingin mendapatkan sebatang tebu, tubuh ini terpelanting nyaris jatuh. Dengan pengalaman itulah, meskipun tetap mencuri, saya termasuk yang berhati-hati.

Saya belum paham dengan panggilan kathak kithik itu waktu itu, tetapi sepertinya memang saya bodoh. Buktinya setelah saya paham saya manut saja. Kalau dipanggil dengan panggilan menjijikkan itu saya tetap menoleh. Ya sudahlah, ini kan kebiasaan orang kampung yang selalu mempunyai panggilan kecil. Dan saya kebagian mendapat panggilan kathak kithik.

Kebodohan saya waktu kecil memang keterlaluan. Bahkan saat kami harus mengaji sekalipun, saya tidak bisa. Disuruh mengaji, penggaweane gelut ae (pekerjaanya berkelahi saja). Padahal tidak pernah ada yang menang dalam setiap perkelahian itu. Tetapi kejadian itu terus dan terus berulang. Mungkin karena saat itu belum ada hiburan, berkelahi cukup menghibur barangkali. Sehingga penyesalan itu akhirnya terbawa sampai saya naik haji tahun 1988. Saya tidak bisa mengaji, baca qur’an dan karena dilarang ini dilarang itu, maka saya diam saja saat haji. Eh, malah selamat.

Maka, sebagai penebus dosa, sepulang haji saya memanggil guru mengaji. Alhasil, tetap tidak bisa. Sekarang diajarkan, besok sudah lupa. Ya Allah ampunilah hamba-Mu ini.@



0 komentar: