Minggu, 01 April 2012

Para Sufi aja Kayaraya kok (dari Buku DIlarang Miskin karya Moeslih Rosyid)

c. Para sufi  kaya raya kok…
            Mungkin pembaca pernah mendengar atau membaca kata zuhud. Zuhud ini biasanya dikaitkan dengan kehidupan para sufi. Dan sebagian besar dari para sufi ini adalah waliyullah, kekasih Allah.
            Zuhud menurut buku Mukasyafatul Qulub buah tangan Imam Ghazali adalah meninggalkan atau menghindar dan menjauhi kenikmatan dunia. Karena kenikmatan dunia bukan tujuan utama. Dengan kenikmatan dunia itu tidak menjadikan seseorang terlena dari mengingat dan mengabdi kepada Allah. Dunia dijadikan alat untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu akherat yang abadi.
            Zuhud sebenarnya bukan tidak mencintai dunia, dan tidak identik dengan kemiskinan dan kemelaratan. Justru menurut saya, orang dikatakan zuhud jika ia kaya raya, tetapi tidak merasa mencintai dan memiliki kekayaan. Orang zuhud senantiasa mengingat Allah dan tidak pernah condong kepada harta. Dia hanya menjadi kran penyalur harta untuk orang yang membutuhkan. Zuhud bukan bermakna hidup miskin dan kekurangan, mengenakan pakaian compang-camping, serta bertubuh kotor. Apalagi kemana-mana mengemis untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tetapi yang meminta (mengemis) dan dia tidak membutuhkannya atau hasil mengemisnya untuk orang lain, termasuk golongan orang zuhud. Salah satu contoh adalah Tuan Guru Haji (TGH) Tretetet yang mempunyai nama asli TGH Ahmad Atto.
            Para sufi tidak menghindari kesenangan dunia. Mereka tetap berusaha dan bekerja untuk mendapatkan rejeki di dunia. Tetapi mereka tidak terlena dengan berlimpah harta, namun terus dan terus meningkatkan ketakwaan demi mengabdi kepada Tuhannya.
            Qs Al baqarah : 198 menegaskan bahwa mencari rejeki tidak dilarang. “laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghu fadhlan min rabbikum’. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rejeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (Qs Al baqarah : 198).
            Saya yakin pembaca pernah mendengar para tokoh sufi yang sangat terkenal itu. Diantara mereka ada yang kaya raya yang hartanya dimanfaatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT. (1) Abdurrahman bin Auf adalah  seorang saudagar yang sangat sukses. Beliau juga seorang sufi yang dijamin Allah masuk surga. (2) Imam Hanafi yang nama aslinya Nu’man bin Tsabit adalah seorang imam. Beliau juga salah seorang pendiri madzhab dalam islam. Imam hanafi adalah seorang pedagang kain yang sukses dan kaya raya di Irak. Kejujuran menjadi darah baginya. Jika beliau menjual kain yang cacat, maka diberitahukannya kepada pembeli.
            Imam Hanafi dengan kekayaan yang melimpah setiap tahunnya menghitung labanya. Laba itu dimanfaatkan olehnya untuk sekedarnya mencukupi kebutuhannya. Sisanya dibelikan barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan pakaian bagi qari’ (pembaca Qur’an), ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu. Selain itu Imam Hanafi juga memberikan sejumlah uang kepada mereka seraya berkata “ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku. Demi Allah aku tidak memberi sedikitpun kepada kalian dari hartaku. Melainkan karunia Allah kepada kalian. Sesungguhnya tidaklah seseorang memiliki kemampuan untuk mendapatkan rejeki , kecuali dari Allah SWT”.
            Bila pembaca sering membaca buku tentang para sufi tentu akan mengenal seorang bintang sufi. Kalau belum, maka akan saya perkenalkan dengan beliau. Beliau adalah (3) Syech Junaid Al Baghdadi. Menurut Junaid, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Dengan bersikap zuhud, seseorang hanya menempatkan dunia di tangannya, bukan di hatinya.
            Syech Junaid Al Baghdadi juga seorang pedagang yang sukses. Beliau memiliki gedung perniagaan di kota Baghdad yang banyak dikunjungi orang. Sebagai guru sufi, beliau tidak terlalu disibukkan oleh bisnisnya. Kedekatan kepada Allah adalah tujuan hidupnya.
Hingga suatu hari beliau dikaruniai Allah sakit mata. Kata tabib matanya tidak boleh terkena air. Tetapi saran tersebut tidak dilaksanakan, karena beliau harus berwudhu sebelum shalat. Ketika bangun tidur matanya sembuh dari sakit itu.
Beberapa waktu kemudian Junaid bertemu dengan tabib itu. Bertanyalah sang tabib kepadanya. “apa yang kau lakukan sehingga matamu sembuh Junaid?”, tanya tabib yang langsung dijawab bahwa ia berwudhu sebelum shalat.  Mendengar jawaban itu tabib yang beragama Nasrani itu langsung bersyahadat, sembari berkata “Ini adalah penyembuhan dari Tuhan, bukan makhluk. Wahai Junaid, sesungguhnya mataku yang sakit, bukan matamu. Kaulah tabib yang sebenarnya.”
Satu lagi Tokoh sufi dunia, agar pembaca yakin bahwa zuhud tidak identik dengan miskin. Beliau adalah (4) Syech Abu Hasan Asy Syadzili, mungkin pembaca telah mengenalnya. Beliau lahir di Maroko 593H dan masih ada ikatan nasab dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Beliau juga seorang sufi yang kaya raya. Sawah dan ladang yang sangat luas dan sapi yang jumlahnya sangat banyak menjadikannya tidak terlalu sibuk dengan dunia. Tetapi kekayaan itu digunakan untuk mengabdi kepada Allah. Dan balasannya sudah bisa dipastikan, harta itu semakin hari semakin banyak akibat dermanya yang tulus.
Inilah doa Syech Abu Hasan Asy Syadzili yang patut kita contoh. “Ya Allah, lapangkanlah rejekiku di dunia, tetapi jangan Engkau jadikan rejeki tersebut sebagai penghalang menuju akherat. Ya Allah jadikanlah duniaku berada di tangaku dan janganlah Engkau masukkan dunia ke dalam hatiku.”
Masih banyak para sufi yang kaya raya selain yang empat di atas. Khalifah Umar bin Khatab Ra dan Usman bin Affan Ra adalah dua dari sekian banyak itu. Intinya, zuhud bukan berarti harus miskin dan papa. Tetapi zuhud adalah sikap dan perilaku serta keyakinan bahwa dunia adalah kendaraan menuju akherat. Dengan harta dunia, asalkan tidak takut kehilangannya, memanfaatkannya untuk kepentingan Allah adalah boleh-boleh saja.
Bahkan karena sulit diberi penjelasan, Ustadz Ikram ‘murshid’ saya pernah menghardik saya, bahwa kehidupan para sufi itu ‘busuk’. Tahun 1993 saya sempat ‘ngeyel’ untuk keluar dari pekerjaan saya sebagai karyawan Pos hanya ingin menjalani kehidupan sebagai sufi. Sekarang saya baru memahami, betapa memang harta dunia itu penting untuk mengabdi kepada Allah lebih baik. Tetapi, menjadikan harta kekayaan segala-galanya adalah suatu tindakan yang pantas untuk dilaknat oleh Allah SWT. Ada lahamdulillah, tidak ada tetap alhamdulillah. Karena kalau Allah mau, tak seorangpun bisa menghalanginya. Allah Maha Berbuat lagi Mahakuasa

0 komentar: