Senin, 09 Desember 2013

KH. Hasan Ali : Rahmatan lil alamin jangan hanya di bibir saja (dari buku Ketika Beliau Berkisah ttg Islam di Bali)



(1)
KH. Hasan Ali :
Rahmatan lil alamin jangan hanya
di bibir saja


Belajar kesopanan, kelembutan dan akhlaqul karimah, beliaulah orangnya. Kepada beliau kita bisa banyak belajar tentang berbagai hal, bukan saja tentang agama tetapi hidup.
Asbab pertemuan kami, membuat tim kami menangis haru atas kesopanan beliau. “Seharusnya semua ulama seperti beliau ya?, saya terharu bertemu dengan beliau,” demikian pengakuan salah satu peliput yang mewawancarai beliau.
Sementara Bli Wayan Sejuk, di atas Honda Beat baru milik kantor, air mata ini meleleh, menangis tersedu. Rindu akan ayah tiba-tiba menyerang begitu saja. Untung hanya Allah yang melihat orang cengeng di kegelapan malam itu.
Bagaimana dengan Anda? Mari kita ikuti penuturan mantan Ketua MUI 2000-2010 ini. (Bli Wayan Sejuk)
(Bli Wayan Sejuk)

 
 











Alhamdulillah, semoga tulisan-tulisan seperti ini, karya seperti ini  banyak ditulis oleh anak-anak bangsa yang beragama islam. Bahkan saya mendukung 100% jika ide membuat media cetak umum bernuansa islam di Bali segera dilaksanakan.

Tentang saya :
Alhamdulillah juga, 19 Februari 1933 saya terlahir di Palembang dan Allah masih memberikan kesempatan saya untuk tetap bisa melampiaskan hoby lama saya sampai sekarang, yaitu membaca. Dalam usia yang berkepala 8 ini  saya masih bisa melakukannya meskipun dibantu kacamata.

Saya disuruh bercerita ini?. Okelah, dimulai dari mana ya? Oh ini saja ; saya dulu sekolah di SGHA yang merupakan singkatan dari Sekolah Guru dan Hakim Agama. Tahun 1957 SGHA dipecah menjadi dua, yaitu (PGA) Pendidikan Guru Agama, dan (PHIN) Pendidikan Hakim Islam Negara. Saya lulus dan bekerja tahun 1953.

Penempatan saya kerja pertama di Kantor Departemen Agama Sumbawa Besar tahun 1953 membawa beberapa harapan dan tantangan. Berdinas selama setahun, 1954 saya dimutasi ke Mataram sampai tahun 1970.

Tahun 1971 saya mutasi ke Bali yang hampir tidak saya jalani. Bukan karena apa-apa tetapi saya tidak bisa mengambil keputusan dalam keraguan. Saat itu saya ragu. Perintah itu sudah saya terima Desember 1970, tetapi saya berangkat Maret 1971. Ya itu tadi alasannya.

Nah, di Bali saat itu nama Kantor Kamenag masih Kantor Agama Daerah (KAD). Dan di sana dipecah jadi dua, Kantor Jawatan Agama Islam dan Kantor Jawatan Agama Hindu. Lalu 1973 dibuka Perwakilan Depag Propinsi Bali.

Dimana pun subyektifitas manusia selalu ada, tetapi waktu itu di Bali masih lebih terbuka. Perasaan hampir semua orang lebih nasionalis. Belum ada kedaerahan yang menonjol. Tetapi ada juga cerita unik yang musti kita ketahui tentang budaya Bali.

Semua Pendatang dipanggil Nak Jawa
Sebelum tahun 1960-an Singaraja itu menjadi ibukota Propinsi Sunda Kecil yang memiliki wilaya Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Baru tahun 1960-an saya lupa tepatnya, berganti nama menjadi Propinsi Nusa Tenggara.

Saat Singaraja masih menjadi ibukota, kami tidak bisa gajian setiap bulan. Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) datangnya tiga bulan sekali saja untung, kadang lebih. Jadi gajian kami seperti itu. Tetapi kami tetap bersemangat, karena disitulah lading amal kami sekaligus tempat mengais rejeki.

Lalu 1962, mudah-mudahan saya tidak salah ya Mas, berdiri Propinsi Bali dengan Ibukota Denpasar. Sedangkan Komando Wilayan Pertahanan (KOWILHAN) masih berpusat di Singaraja.

Dengan kondisi itulah orang islam dari luar yang datang ke Bali tidak kesulitan mencari makanan halal. Utamanya untuk wilayah Buleleng, Karangasem, Negara dan juga Singaraja. Mengapa demikian? Karena daerah-daerah tadi sudah lebih dulu berinteraksi dengan orang luar. Dan mungkin Pembaca yang kelahiran 1970 kesini akan heran bahwa semua orang luar yang datang ke Bali dipanggil “Nak Jawa”. Mau dari Palembang, Makasar, Kalimantan, Sumatera, Ambon atau dari mana saja di Indonesia adalah Nak Jawa. Nak Jawa ini sebutannya saja. Dipelesetkan bisa jadi. Padahal asal katanya, “Nak Jaba”. Jaba itu luar, sehingga arti lengkapnya orang dari luar, bukan orang dari Jawa.

Rata-rata masyarakat Bali tertutup saat itu. Mereka lebih mengutamakan adat. Jadi yang tidak masuk struktur adat, dianggap orang luar. Dan menurut orang Bali saat itu, yang disebut orang Bali itu yang beragama Hindu. Yang agamanya bukan Hindu bukan orang Bali.

Nah, setelah mereka banyak berinteraksi dengan dunia luar, misalnya sekolah ke Jawa atau ke Makasar, lama-lama terbuka. Mereka menyadari bahwa kita ini butuh plurarisme karena kita Bhineka Tunggal Ika.



Tingkat Keislaman di Bali sangat tinggi
Masuk Bali tahun 1971 saya menjadi Kasi pengembangan Madrasah. Heran kan? Kok ada ya? Jangan salah bahwa muslim di Bali menurut saya tingkat keislamannya cukup tinggi. Makanya didirikanlah madrasah-madrasah di beberapa tempat. Walhasil di Depag harus ada seksi yang mengurusi madrasah. Sampai tahun 1975 saya beberapa kali mutasi di Kanwil. Dan tahun 1975 sd 1985 saya dipercaya memimpin sekolah Pendidikan Guru Agama 6 tahun (PGA 6 Tahun) di Singaraja. Dan 1985 saya jadi pengawasan sekolah islam di Denpasar sampai pensiun tahun 1993.

Bersama tulisan ini saya pun ingin memberitahu kepada pembaca. Di luar Bali, mungkin perbedaan ORMAS membuat mereka saling bermusuhan, insya Allah di Bali ini tidak. Mungkin ada tetapi tidak terlalu signifikan.

Kita boleh berbeda, bahkan perbedaan itu rahmat. Yang prinsip-prinsip tidak ada perbedaan.  Yang  berbeda hanya masalah ibadah. Jadi di Bali kami sesama ORMAS akrab karena kita sadar tentang perbedaan itu. Kami selalu mencari persamaan dan bukan perbedaan. Menarik dan bukan mencerca. Mengajak dan bukan mengusir. Dan Rasulullah selalu bersikap lemah lembut  sebagaimana diatur dalam Qs Al Imran : 159.

159. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Qs Al Imran : 159)

Masalahnya manusia selalu fanatik pada pilihannya sendiri. Padahal  ancaman sebagai orang musyrik ditetapkan kepada kita yang memecah belah umat (Qs Ar Rum : 30-33)

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui  31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,  32. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka[1169] dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

Selanjutnya Allah memberikan arahan kepada kita bagaimana mengahadapi perselisihan, bahkan perbuatan jahat. Semuanya sudah diatur dengan rapid an jelas.

(Qs Fushilat : 30-35)
30. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.  31. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. 32. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri” 34. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.  35. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.

Ini pesan saya, kalau mau mengajak orang, maka kita sendiri harus (1) menghormati perbedaan (2) menjaga batas-batas tertentu dan (3) tidak saling menghina dan mencela. Namun semuanya perlu proses. Harus selalu diupayakan untuk kerukunan ini.

Yang sungguh sangat penting adalah memperbanyak orang mempelajari Al Qur’an dan memahaminya. Insya Allah akan semakin paham apa itu islam. Setiap manusia selalu ada nilai-nilai positifnya. Tak terkecuali orang non muslim.

KH Habib Adnan Pelopor FKUB
Untuk maksud perdamaian sebagaimana didambakan di atas, kita telah memelopori adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ini dikomandoi oleh Almarhum KH Habib Adnan. Beliau ayah dari Pak Taufik yang sekarang menjadi Ketua MUI Propinsi Bali. Bahkan waktu itu saya masih reaksioner karena belum paham. Saya sempat menentang beliau.

“Ini bukan strategi tetapi inilah ajaran islam,” nasehat KH. Habib Adnan menanggapi keraguan saya. beliaulah yang membabat alas. Sehingga sejak saat itu FKUB terus mengadakan pertemuan meskipun tidak ada masalah. Apalagi kalau ada masalah. Dulu FKUB ini berkantor di MUI. Sampai tahun 1998-an lalu diambil oleh pemerintah dan dinasionalkan. Insya Allah FKUB Bali pertama di Indonesia.

Lalu tentang bom Bali. Bom Bali I banyak korban jiwa, dan bom Bali II banyak korban ekonomi. Sehingga 2005 banyak kos-kosan tutup, ekonomi sangat sepi. Tetapi tanpa membela siapa-siapa, sebenarnya ada hikmah yang bisa kita ambil pada setiap kejadian. Tak terkecuali tragedi bom Bali. Setidaknya Bali semakin dikenal dunia, ekonomi pun setelah tertekan menjadi melejit. Muslim pun berkesempatan melakuan da’wah bilhal.

Rahmatan lil alamin jangan hanya di bibir
Ini yang ingin saya paparkan bahwa da’wah bilhal, da’wah dengan sikap ini sudah kita lakukan dengan paling sedikit tiga hal. Pertanian terpadu, peternakan yang membina masyarakat desa dan program pendampingan desa mandiri.  Dari sana lalu saudara kita yang asli Bali merasa diuntungkan. Bahkan kalau Mas Suprio Guntoro dan Mas Zaenal Arifin ke desa-desa itu, mereka sungguh sangat senang menerimanya. Semua menunggu kedatangannya. Bagus kan?

Dulu ada ungkapan yang agak membuat telinga merah dari saudara kita Bali. “Kalau turis membawa dolar, kalau Nak Jawa membawa kekumuhan / kemiskinan.”  Jadi di satu sisi mereka cemburu, sementara di sisi lain membutuhkan. Pas lebaran saya naik taksi dan ngobrol dengan sopirnya. Dia mengeluh bahwa lebaran justru sepi. “Sepi Pak, ndak ada nak jawa,” ungkap mereka. Demikian juga usaha lain tetap membutuhkan pasar. Setidaknya meskipun Nak Jawa punya usaha, mereka pun menjadi pasar bagi orang Bali. Jadi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

Akhirnya dimulai dari para pemimpin, lalu mereka sadar akan kebutuhan saling mengisi itu. Pak Mangku Pastika sempat menyoal masyarakatnya yang tidak bisa membuat “tahu-tempe” dan hanya berharap Nak Jawa yang berproduksi. Selidik punya selidik ternyata mereka sudah enjoy dengan usaha di pariwisata.

Jadi kesadaran masyaraat Bali itu lalu menjadi semangat untuk menutupi kekurangan mereka dan juga Nak Jawa yang ternyata saling membutuhkan. So, jika saudara-saudara muslim mengalami kesulitan menghadapi sikap tidak bersahabat dari saudara kita asli Bali, tahun 2006 kami sudah megumpulkan pemuka islam di Masjid Ibnu Batutah dengan pesan utama memahami sejarah masuknya islam di Bali. Da’wah islam itu simpatik kok.

Dari pertemuan itu lalu kita punya program yang disebut dengan Catur Program Umat disingkat CAPU. Inilah keempat program tersebut :
1.      Meningkatkan pemahaman islam dengan sebaik-baiknya yang berbasis masjid
2.      Meningkatkan sosial ekonomi umat dengan menyosialisasikan ekonomi syariah
3.      Meningkatkan kualitas SDM dengan meningkatkan mutu sekolah dan pesantren.
4.      Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara (nasionalisme).
CAPU ini dicanangkan sampai dengan tahun 2030. Bagaimana hasilnya? Ada tetapi masih sangat lambat. Hal ini selain kesadaran kurang dan seperti biasa umat islam bersifat reaksionir (kalau tidak ada apa-apa santai-santai, tetapi kalau ada masalah baru bingung), dan juga sosialisasi dirasa masih sangat kurang. Semoga saja dengan hadirnya buku ini, para pemuka islam kembali mau mengingatkan kepada jamaahnya.

Saya jadi ingat statemen seorang dosen UNUD yang sangat menggelitik pikiran saya sampai sekarang. Katanya umat islam tidak bakal bisa bersatu sampai kiamat. Saya tidak usah sebut siapa nama beliau, yang jelas beliau muslim. Alasannya islam itu parsial dan tidak terpadu. Inilah PR kita dan saya yakin dengan tenaga-tenaga seperti adik-adik yang berinisiatif membuat media, Allah akan memudahkan semuanya.

Mari kita kembali ke khitah rahmata lil alamin, manfaat bagi seluruh alam. Jangan kalimat itu hanya dijadikan slogan dan hanya di bibir saja. Jangan sampai untuk kita sendiri saja belum mampu, apalagi untuk keluar.

Semoga apa yang saya sampaikan bermanfaat dan selamat menikmati….

@@@@@@@@@@


0 komentar: